Senin, 16 Juli 2012

Etnosains Daksina

Maraknya pengurangan Unsur-Unsur Pengisi Daksina Dan Ethika pembuatan Upakara Yang Semakin diabaikan
luh Putu Indah Purnama Sari
FKIP Biologi

Abstract
Majority of Balinese are Hindu, and almost every day held a religious ceremony that aims to invoke the safety, gratitude, and the protection of Almighty God. Any activity performed Hindu ceremonies can not be released with the name of banten, both in Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, and Dewa Yadnya ceremony. However, the current buying banten trend has developed among the Balinese for reasons of convenience and the growing purchasing these offerings create a lot of offerings for profit and the seller is no longer noticed ethika and elements in making a upakara. research on the assessment done on 10 April 2012 in two different markets, namely are Sanglah and Badung market. This study was conducted by interviews in these two markets and got the result that many of the elements of banten and ethics in the making, especially in daksina who have experienced a shift or reduction of its elements is one example of the reduced elements of pis bolong, and tapak dara the meaning important to daksina in the manufacture, and also the replacement of elements that should daksina eggs on duck eggs to chicken eggs. This reduces the symbolic meaning and an yadnya, and to overcome them is done by opening the course mejejahitan for Hinduism who can not or blind in making upakara and also taught ethika in making a upakara, in order to yadnya conducted be accepted by Ida Sang Hyang Widhi Wasa or the Creator.

Key words : Balinese, Hindu, Profit, Symbolic

Abstrak
Mayoritas masyarakat Bali beragama Hindu dan hampir setiap hari menyelenggarakan upacara keagamaan yang bertujuan memohon keselamatan, rasa syukur, dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Setiap kegiatan upacara yang dilakukan umat Hindu tidak bisa dilepaskan dengan yang namanya banten, baik dalam upacara Manusia Yadnya, Pitra Yadnya, maupun Dewa Yadnya. Namun saat ini telah berkembang tren membeli banten di kalangan masyarakat Bali demi alasan kemudahan dan maraknya pembelian banten ini membuat banyak penjual banten mencari keuntungan dan tidak lagi memperhatikan ethika dan unsur-unsur dalam pembuatan sebuah upakara. penelitian mengenai kajian ini dilakukan pada tanggal 10 April 2012 di dua pasar berbeda yaitu di pasar Sanglah dan pasar Badung. Penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara di dua pasar ini dan didapat hasil bahwa banyak unsur-unsur banten dan etika dalam pembuatannya terutama pada daksina yang telah mengalami pergeseran atau pengurangan unsur-unsurnya salah satu contoh yaitu berkurangnya unsur pis bolong, dan tampak dara yang memili arti penting dalam pembuatan daksina dan juga terjadinya penggantian unsur telur pada daksina yang seharusnya telur bebek menjadi telur ayam. Hal ini akan mengurangi makna dan simbolis sebuah yadnya, dan untuk mengatasinya dilakukan dengan membuka kursus mejejahitan untuk umat Hindu yang tidak bisa atau buta dalam membuat upakara dan juga diajarkan ethika dalam membuat suatu upakara, agar yadnya yang dilaksanakan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau sang Maha Pencipta.
Kata Kunci : Masyarakat Bali, Umat Hindu, Keuntungan, Simbol atau makna
Pendahuluan
Latar Belakang
Masyarakat Bali yang mayoritas penduduknya memeluk Agama Hindu hampir setiap hari melakukan kegiatan upacara keagamaan yang memiliki makna dasar untuk memohon keselamatan, rasa syukur, dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Setiap kegiatan upacara yang dilakukan umat Hindu tidak bisa dilepaskan dengan yang namanya banten, baik dalam upacara Manusia Yadnya, Pitra Yadnya, maupun Dewa Yadnya. Salah satu banten yang sering digunakan dalam kegiatan upacara adalah Daksina. Dalam membuat banten yaitu daksina atau upakara umat Hindu juga memiliki suatu ethika atau sesana sesuai dengan tiga kerangka ajaran agama yaitu, Tattwa, Ethika, dan Upacara. (Midastra dkk, 2010). Sarana upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta. (Balipost, 2010) Seiring dengan perkembangan jaman, dan kelangkaan bahan-bahan baku banten, serta keterbatasan waktu bagi umat Hindu terutama yang hidup di kota dalam menyiapkan sarana upakara membuat sebagian besar umat Hindu membeli banten dari tukang-tukang banten. Hal ini menjadi tren, atau alternatif tersendiri sebagai lahan bisnis yang menjanjikan, namun disisi lain kebiasaan ini berdampak terhadap gaya hidup masyarakat dalam menyediakan sarana banten untuk melaksanakan upakara. (Yadnyawati, 2011) Bagi umat Hindu yang sibuk dengan pekerjaannya asalkan bisa melaksanakan upacara meskipun dengan membeli banten merupakan jalan keluar yang mereka pilih karena dapat melakukan yadnya sekaligus tidak menyita waktu kerja mereka.
Pada kenyataannya tren membeli banten ini banyak dilakukan masyarakat dengan berbagai alasan dari tidak bisa membuat sampai pada kesibukan dalam pekerjaan. Alasan inilah yang menyebabkan banyak jasa tukang banten yang laris di Bali. Akan tetapi muncul permasalahan baru yang terkait dengan keberadaan tren membeli banten. Banyak umat Hindu khususnya tukang banten, kurang memperhatikan tentang ethika dalam membuat banten. Kemungkinan disebabkan karena tukang banten yang ada sekarang belum tahu benar tentang nilai-nilai yang terkandung dalam upakara, hanya sebatas bisa membuat dan bisa menyelesaikan upakara atau banten dengan baik. Padahal dalam membuat upakara harus didasarkan oleh keikhlasan hati karena membuat upakara merupakan hal yang bersifat suci. (Swarsi, 2010). Selain itu dari observasi yang saya lakukan di lapangan banyak pergeseran mengenai konsep daksina dan ethika pembuatan daksina. (Purnama, 2012). Berkurangnya unsur-unsur penyusun daksina ini salah satu pergeseran yang saya temukan di lapangan banyak unsur-unsur penyusun daksina yang dihilangkan dalam pembuatan daksina terutama daksina yang banyak diperjual belikan oleh tukang banten di pasar. Selain itu ethika dalam membuat daksina atau upakara juga lambat laun mulai diabaikan demi memperoleh keuntungan dan kemudahan.
Karena latar belakang inilah penulis bermaksud melakukan kajian mengenai pengurangan unsur-unsur penyusun daksina dan ethika pembuatan upakara yang semakin diabaikan.
Rumusan Masalah
Apakah dengan membuka kursus mejejaitan dapat mengurangi tren membeli canang di kalangan umat Hindu di Bali dan dapat memberi pandangan yang jelas tentang ethika pembuatan upakara atau banten ?
Tujuan Penelitian
 Agar unsur-unsur yang mempunyai makna dalam upakara tetap terjaga serta dapat mempertahankan keberadaan tiga kerangka dasar agama Hindu.

Bahan dan Metode Penelitian

Kajian mengenai maraknya pengurangan unsur-unsur yang ada pada daksina serta ethika dalam pembuatan upakara yang lambat laun semakin diabaikan ini dilaksanakan pada tanggal 10 April 2012 dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan pengamatan langsung dilapangan. Tekhnik pengambilan sampel dengan mengambil sampel secara acak di dua pasar berbeda yaitu pasar Sanglah dan pasar Badung, sampel yang akan dikaji adalah unsur-unsur yang ada pada daksina apakah masih tetap sama seperti daksina pada jaman dahulu ataukah sudah mengalami pengurangan isi maupun perubahan teknis dalam pembuatannya serta melakukan wawancara mengenai tata cara pembuatan daksina dan upakara apakah sudah sesuai dengan ethika yang menjadi tiga kerangka dasar agama Hindu. Pengambilan sampel dari pedagang yang dipilih secara acak dan dipilih pedagang yang mamang beragama Hindu, diharapkan dengan pengambilan sampel secara acak dan dari pedagang yang sama-sama beragama hindu didapatkan hasil yang menunjukkan keadaan yang sebenarnya karena peneliti beralasan dengan mengambil sampel pedagang yang sama-sama beragama hindu maka persepsi mereka tentang pembuatan banten serta unsur-unsur dan ethika dalam pembuatan banten sama.

Hasil dan Pembahasan
Daksina berasal dari kata sansekerta yang berarti upah, daksina juga bisa bermakna selatan dan nama sebuah banten, merupakan tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah dari yadnya. dan salah satu jenis sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa bali di sebut wakul daksina. Nama lainnya adalah bedongan. (Umaseh, 2010) Daksina disebut Juga "YadnyaPatni" yang artinya istri atau sakti dari pada yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagai perwujudan atau pertapakan. (Kendari, 2010). Unsur-unsur yang menyusun daksina mempunyai makna masing-masing jika diurutkan dari bawah ke atas adalah:
ü  Alas bedogan atau srembeng atau wakul atau katung, terbuat dari janur atau slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya. Alas ini sebagai simbol Sang Hyang Ibu Pertiwi, atau sebagai simbol bumi;
ü  Bedogan atau srembeng atau wakul atau katung atau srobong daksina, terbuat dari janur atau slepan yang dibuat melingkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan );
ü  Tampak Dara, dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. tampak dara adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. Tampak dara juga melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik;
ü  Beras, yang merupakan makanan pokok lambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva);
ü  Sirih temple atau Porosan, terbuat dari daun sirih (hijau – wisnu), kapur (putih – siwa), dan pinang (merah – brahma) diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan.
ü  Kelapa, adalah buah serbaguna, yang juga simbol Pawitra (air keabadian atau amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. air kelapa sebagai lambang Mahatala, isi kelapa yang lembut lambang Talatala, dan isinya yang lain lambang Tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang Sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, serat saluran sebagai lambang Bhuvah loka, serat serabut basah lambang Svah loka, serabut basah lambang Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, kulit kering sebagai lambang Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung Sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pengikat indria;
ü  Telur Itik, dibungkus dengan ketupat telur, adalah lambang awal kehidupan atau getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit yang menghuni bumi ini, karena pada telur terdiri dari tiga lapisan, yaitu kuning telur atau sari lambang antah karana sarira, putih telur lambang suksma sarira, dan kulit telur adalah lambang sthula sarira. dipakai telur itik karena itik dianggap suci, bisa memilih makanan, sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air, dan bahkan terbang bila perlu);
ü  Pisang, Tebu, dan Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari alam mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudha. Dalam tetandingan pisang melambangkan jari, Tebu melambangkan tulang;
ü  Buah Kemiri, adalah sibol Purusa atau Kejiwaan atau Laki-laki, dari segi warna putih (ketulusan);
ü  Buah kluwek atau Pangi; lambang pradhana atau kebendaan atau perempuan, dari segi warna merah (kekuatan). Dalam tetandingan melambangkan dagu;
ü  Gegantusan, merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan kraras atau daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran;
ü  Papeselan yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata, daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian atau langsat atau ceroring lambang Mahadeva, daun salak atau mangga lambang Visnu, daun nangka atau timbul lambang Siva. papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana);
ü  Bija ratus adalah campuran dari 5 jenis biji-bijian, diantaranya; godem (hitam – wisnu), Jawa (putih – iswara), Jagung Nasi (merah – brahma), Jagung Biasa (kuning – mahadewa) dan Jali-jali (Brumbun – siwa). kesemuanya itu dibungkus dengan kraras (daun pisang tua);
ü  Benang Tukelan, adalah alat pengikat simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. dalam tetandingan dipergunakan sebagai lambang usus atau perut;
ü  Uang Kepeng; adalah alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah. uang juga lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan;
ü  Sesari; sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha);
ü  Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina;
ü  Sampyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria.
(Sudarsana, 2010)

Sesana (ethika) dalam membuat upakara dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah lepas dari kehidupan umat Hindu baik itu pembuatan upakara berukuran nista, madia, maupun Utama. (Balipost, 2010) masih banyaknya umat Hindu khususnya tukang banten, kurang memperhatikan tentang Etikha dalam pembuatan upakara, pikirannya baru berdasar atas tingkat kebisaan mengerjakan atau asal pembuatan upakara selesai. Padahal tidak demikian kenyataannya upakara adalah sebagai penjabaran nilai-nilai weda serta merupakan simbol karma yang subhakarma, karena itu belajar membuat upakara merupakan perbuatan yang sangat mulia namun harus didasarkan oleh keikhlasan hati, serta menepati sesana (ethika) pelaksanaan upakara tersebut seperti: pada waktu akan membuat upakara hendaknya membersihkan diri terlebih dahulu atau menyucikan laksana agar tingkat dan kesucian upakara dapat dipertahankan; pada saat mulai membuat upakara harus dalam keaadaan rapi, terutama rambut harus disisir dan diikat agar rambut pembuat banten tidak jatuh dan menyebabkan kecuntakan; bila seorang perempuan membuat upakara tidak boleh dalam keadaan datang bulan, karena dapat mengakibatkan kecuntakan terhadap upakara; memiliki rasa ikhlas dan rasa bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi; saat sedang membuat tetandingan atau merangkai hindarkan dari anak-anak jangan sampai upakara dirusak karena tapak rare ini dapat menyebabkan kecuntakan; seorang umat atau tukang banten saat metetuasan posisi duduk tidak boleh metajuh masuku tunggal karena merupakan sikap drati krama yang menyebabkan kecuntakan; dan bila umat akan membuat upakara harus ngadegan dewan tukang dengan sebutan Sang Hyang Tapeni senistanya berupa banten tetukon, medianya mempergunakan pejati, dan utamanya mempergunakan daksina gede sarwa 4, suci lengkap, dan segepangkonan 4 tanding. (Swarsi, 2010)
Pergeseran yang terjadi saat ini adalah dimana dari hasil observasi yang saya lakukan di lapangan yaitu dari pengambilan sampel di pasar Sanglah dan pasar Badung banyak unsur-unsur dari daksina yang tidak diisikan pada jaman sekarang dibanding jaman dahulu dimana pembuatan daksina berisi lengkap ke 13 unsur-unsur yang harus ada pada daksina, seperti; bebedog, tampak dara, beras amusti, porosan silih asih, gegantusan, pepeselan, pangi, kelapa, telur bebek, tingkih, benang tebus putih, uang bolong, dan canang sari. (Yadnyawati, 2011) hal ini akan mempengaruhi makna dari daksina itu sendiri. Dimana masing-masing dari ke 13 unsur itu memiliki makna yang berkaitan dengan fungsi daksina sebagai unsur kekuatan pesaksi yang disebut trio dasa saksi. (Sudarma, 2006)
Disamping itu dari hasil observasi yang saya lakukan di lapangan ada beberapa pedagang yang entah sengaja atau tidak mengganti unsur telur yang ada pada daksina yang seharusnya menggunakan telur itik atau telur bebek yang dianggap sebagai hewan suci diganti menjadi telur ayam yang memang sudah dibungkus daun pisang agar para pembeli tidak melihat isi di dalamnya pada hari yang sama saya melakukan observasi sekaligus wawancara dengan para pedagang banten khususnya pedagang daksina. Pada hari Selasa tanggal 10 April 2012 pukul 08.00 wita saya melakukan pengambilan sampel di pasar Sanglah yang jaraknya tidak jauh dari rumah saya, setibanya disana saya berkeliling melihat para pedagang banten dan canang yang ada di pasar Sanglah, dari 20 pedagang banten dan canang yang berjualan hanya 5 pedagang yang berjualan daksina dan sisanya 7 pedagang hanya berjualan bebedog, porosan silih asih, gegantusan, pepeselan, dan telur bebek dalam bentuk terpisah-pisah dan ada yang dijual borongan, dan sisanya lagi hanya berjualan canang. Alasan berjualan canang karena lebih menguntungkan dan setiap hari pasti ada saja yang membeli berbeda dengan daksina yang belum tentu ada yang beli setiap hari. Kemudian saya melakukan pengambilan sampel acak dan melakukan wawancara dengan salah satu pedagang daksina dari karangasem yang bernama Ni Wayan Weni. Wanita ini menjual berbagai jenis bebantenan termasuk canang sari, daksina, dan juga pejati setiap hari dan telah banyak memiliki pelanggan. Salah satu pelanggan ibu Weni bernama Nyoman Suriasih berumur 30 tahun mengatakan bahwa membeli canang atau bebantenan lainnya dianggap sangat membantu karena kesibukannya dalam pekerjaan di kantor ibu Nyoman Suriasih bisa memesan banten lewat telepon kepada ibu Wayan Weni dan dia tinggal mengambil pesanannya dipasar sekalian berangkat ke tempat kerja dan untuk isi daksina tidak terlalu diperhatikan isinya oleh ibu Suriasih. Kemudian saya membeli daksina ibu Weni sebagai sampel. dari hasil wawancara dengan para pedagang daksina saya mendapatkan data bahwa rata-rata harga daksina di pasar Sanglah berkisar antara tujuh ribu sampai delapan ribu rupiah.
Di hari yang sama namun dengan waktu dan tempat yang berbeda yaitu pukul 10.00 wita, saya melakukan pengambilan sampel di pasar Badung. Sampel saya ambil secara acak sama seperti pengambilan sampel sebelumnya namun kali ini saya tidak melakukan observasi berapa banyak pedagang canang dan bebantenan yang ada di sana karena mengingat luasnya pasar Badung jadi saya melakukan observasi di satu tempat yang memang merupakan komunitas pedagang banten dan canang. Di pasar badung ini saya melakukan wawancara dan membeli daksina dari salah satu pedagang yang memang asli daerah badung dan wanita ini sering dipanggil mangku karena profesinya juga sebagai pemangku, namun saya tidak sempat menanyakan namanya. Dari hasil wawancara saya mengenai harga daksina dan keperluan membeli rata-rata harga daksina dan keperluan pelanggan sama dengan di pasar Sanglah. Dalam penelitian ini saya membandingkan isi dari ke dua sampel daksina ke dua pasar yang berbeda tersebut dan disana saya menemukan persamaan dan juga perbedaan yang signifikan, dari kedua daksina yang saya beli di dua pasar yang berbeda saya menemukan persamaan bahwa unsur tampak dara dan uang bolong tidak ada pada ke dua daksina itu. Kemudian pada daksina yang saya beli di pasar Sanglah banyak unsur-unsur trio dasa saksi yang berkurang atau tidak ada seperti; tampak dara, uang bolong, gegantusan, pangi, tingkih, dan telur bebek diganti telur ayam, memakai streples dalam membuat alas kojong. Sedangkan yang saya beli di pasar Badung hanya tiga unsur yang tidak ditemukan yaitu tampak dara, Uang bolong, dan porosan silih asih. Bagi yang tidak mengerti pengurangan ini bukanlah apa-apa namun dari segi makna tampak dara ini merupakan lambang dunia makro dan mikro yang dimana bermakna sebagai pengatur keseimbangan alam sedang uang bolong atau pis bolong sendiri bermakna panca datu atau menyimbolkan lima unsur logam. kemudian dari ethika pembuatan daksina juga banyak hal-hal yang sudah diabaikan oleh para pedagang seperti pada waktu membuat daksina mereka belum mebersihkan diri, masih dalam keadaan cuntaka karena datang bulan, belum ada rasa ikhlas dan lebih mementingkan keuntungan, sehingga tidak memperhatikan unsur-unsur yang harus ada saat membuat upakara. Padahal dahulu setiap pembuatan upakara baik membuat daksina atau bebantenan lain semua unsur-unsur trio dasa saksi ini harus selalu ada dalam pembuatan daksina dan ethika atau sesana dalam membuat upakara harus benar-benar suci dan dibuat dengan pikiran dan perasaan serta jiwa dan raga yang benar-benar bersih namun jaman sekarang sulit untuk diterapkan dan mungkin dimasa yang akan datang masih banyak lagi unsur-unsur bebantenan lain yang akan dikurangi dan akan semakin langka untuk mendapatkan bahan-bahan ini karena manusia akan semakin ingin kemudahan.

Kesimpulan dan Saran

Dari kajian mengenai unsur-unsur daksina dan ethika membuat daksina upakara yang dilakukan diperoleh hasil bahwa banyak terjadi pengurangan dan penggantian unsur-unsur bermakna yang terdapat pada pembuatan daksina, dan banyak umat Hindu terutama yang membuat banten kurang memperhatikan lagi ethika atau sesana dalam membuat upakara atau banten. Selain itu meningkatnya tren pembelian banten membuat banyak pedagang banten berusaha mencari keuntungan dengan mengurangi atau mengganti unsur-unsur yang harusnya diisi pada banten, daksina, atau sarana upakara lain. Hal ini menjadi sebuah pergeseran atau perubahan yang signifikan dalam dunia upakara. Saran penulis dalam kajian ini adalah agar para pembuat banten atau ahli membuat banten sebaiknya memperhatikan kembali ethika dalam membuat upakara atau banten dan juga sebaiknya para ahli bebantenan memberikan kontribusi dalam mengajarkan umat Hindu yang tidak bisa membuat bebantenan dengan membuka kursus mejejahitan, atau penulisan buku mengenai cara-cara membuat jejahitan dan unsur-unsur yang harus diisi pada bebantenan terutama daksina dan menjelaskan maknanya agar pengurangan unsur-unsur penting yang memiliki makna ini tidak terjadi lagi dan umat Hindu juga bisa benar-benar paham mengenai ethika dalam membuat banten atau upakara agar yadnya yang dilakukan benar-benar suci dan di terima oleh Ida Sang Hyang Widhi.





DAFTAR PUSTAKA

Balipost. (07 September 2010). Menyelami adat dan kebudayaan masyarakat bali. Balipost. Diunduh dari http://okanila.brinkster.net/mediaFull.asp?ID=538
Kendari. (27 Juli 2010). Daksina satu syarat satwika yadnya. Pesan diposkan ke http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=369&Itemid=79
Midastra, dkk. (2010). Alam semesta. Wijaya (Penyunting). Pedoman belajar pendidikan agama hindu (halaman 8-10).
Paradev, P. (14 Agustus 2010). Agama dan budaya bali di persimpangan jalan. Pesan diposkan ke http://www.babadbali.com/canangsari/banten/daksina.htm
Sudarma, W. (24 Januari 2006). Konsep ketuhanan dalam daksina linggih. Di unduh dari http://okanila.brinkster.net/mediaFull.asp?ID=698
Sudarsana, IB. (2010). Daksina. Yayasan Dharma Acarya (Penerbit). Himpunan tetandingan upakara yadnya (halaman 32-33).
Swarsi, S. (2010). Makna upacara garbadana. Di unduh dari http://www.parisada. org/index. php?option=com_content&task=view&id=370&Itemid=79
Umaseh, P. (4 Juli 2010). Daksina-cara membuat dan kajian filosofis. Di unduh dari http:// cakepane.blogspot.com/2010/07/daksina-cara-membuat-dan-kajian.html
Yadnyawati, IA. (2011). Beli banten jadi tren di kalangan masyarakat hindu. Di unduh dari http://www.bisnisbali.com/2011/11/16/news/gayahidup/v.html
































Tidak ada komentar:

Posting Komentar