Rabu, 23 Mei 2012


PENULISAN PRASI DI ATAS DAUN LONTAR SEBAGAI
 WARISAN BUDAYA MASYARAKAT BALI
YANG PATUT DILESTARIKAN
         Luh Putu Indah Purnama Sari
                                                          FKIP UNMAS DENPASAR


ABSTRACT



                PRASI is the creation of a diverse group of creative people in the world of conflict resolution who themselves embody the unity of research and practice. Wealth of the nation's heritage for future generations never programmed systemic. Many activities are conducted through the inheritance of hereditary habit. There was never any evaluation of effectiveness of this type and how heritage is underway. All activities run on natural heritage. Prasi, physical, consisting of the writings or the story text and illustrations. Writing is used in prasi usually use the letter of Bali. Images that complement the style of writing made with puppets. The second part of this prasi made in a special way, using special stationery or pictures, types of knives called pengropak. By way of injuring the surface of the palm leaves that have been processed ready written, prasi makers set the text and images on the surface of the ground-writing. Furthermore, to show the results of scratches to be seen, read, surface dilaburi palm oil mixed with soot. Prasi or script writing on palm leaves illustration of this takes a long time but if this can be inherited will continue to provide many beneficial aspects of both in terms of ecological, social, and economic. Prasi written on palm leaves is one of the preservation of indigenous peoples in Bali and write prasi still have to continue to exist as an inherited trait Balinese society is maintained.

Keyword : Creative people, pengropak, beneficial aspects


PENDAHULUAN
Prasi adalah hasil olah pikir dan rasa masyarakat Bali sebagai respon positif untuk menyelaraskan keperluan kegiatan dengan lingkungan. Sejak masa lalu, masyarakat Bali telah mampu merespons keperluan mengabadikan data tertulis dalam bentuk lembaran naskah. Salah satu di antara bahan yang digunakan sebagai bahan lembaran naskah yang pernah dikembangkan sebagai sarana dokumentasi data tertulis adalah lembaran daun lontar. Penulisan prasi atau yang disebut naskah ilustrasi ini banyak dikembangkan oleh masyarakat Bali dengan menggunakan daun lontar sebagai sarana tempat menulisannya. Prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar (gambar ilustrasi). Tulisan dalam prasi biasanya menggunakan huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang. Kedua bagian prasi ini dibuat dengan cara khusus, menggunakan alat tulis atau gambar khusus, yaitu sejenis pisau yang biasanya disebut dengan pengropak. Cara menulis prasi di atas daun lontar ini dilakukan dengan cara melukai permukaan daun lontar yang telah diolah siap-tulis, pembuat prasi mengatur tulisan dan gambar di atas permukaan lahan-tulis tersebut.
Budaya penulisan prasi di atas daun lontar ini lambat laun semakin ditinggalkan karena masyarakat menganggap penulisan dengan cara ini sangat kuno dan membutuhkan waktu yang lama untuk pembuatannya. Hanya beberapa masyarakat Bali di daerah tertentu saya yang masih menjaga kelestarian budaya penulisan prasi di atas daun lontar ini. Salah satu daerah yang masih menggunakan lontar sebagai sarana penulisan prasi adalah daerah Bungkulan, Kabupaten Buleleng.
Dari latar belakang tersebut penulis bermaksud membuat paper kearifan lokal yang berjudul “Penulisan prasi di atas daun lontar sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan” dengan tujuan agar kearifan lokal penulisan prasi tetap terjaga kelestariannya serta ciri khas dari masyarakat bali tidak hilang.

PEMBAHASAN
            Pewarisan kekayaan bangsa kepada generasi penerus tidak pernah terprogram secara sistemik. Banyak kegiatan pewarisan yang terlaksana melalui kebiasaan turun-temurun. Tidak pernah ada evaluasi efektivitas jenis dan cara pewarisan yang berlangsung. Semua kegiatan pewarisan berjalan secara alamiah. Hal ini berlangsung sebagai pola meniru kegiatan yang diajarkan guru kepada anak didiknya. Dari kegiatan ini diharapkan agar anak didik yang awalnya meniru kegiatan guru akhirnya bisa mengembangkan lagi hasil kegiatan yang dapat ditirunya. Seperti halnya penulisan prasi yang awalnya hanya diwariskan secara alamiah dari orang tua ke anak-anak serta cucu-cucu mereka kemudian berkembang seiring perkembangan zaman banyak ide pemikiran yang muncul dan dituangkan dalam naskah ilustrasi yang ditulis di atas daun lontar.
            Lontar (dari bahasa Jawa: ron tal, "daun tal") adalah daun siwalan atau tal (Borassus flabellifer atau palmyra) yang dikeringkan dan dipakai sebagai bahan naskah dan kerajinan. Di Bali sendiri, daun-daun lontar sebagai alat tulis masih dibuat sampai sekarang. Pertama-tama daun-daun pohon siwalan dipetik dari pohon. Pemetikan biasa dilakukan pada bulan Maret, April atau September,Oktober karena daun-daun pada masa ini sudah tua. Kemudian daun-daun dipotong secara kasar dan dijemur menggunakan panas matahari. Proses ini membuat warna daun yang semula hijau menjadi kekuningan. Lalu daun-daun direndam di dalam air yang mengalir selama beberapa hari dan kemudian digosok bersih dengan serbet atau serabut kelapa. Setelah daun-daun dijemur kembali, tapi sekarang kadang-kala daun-daun sudah dipotong dan diikat. Lalu lidinya juga dipotong dan dibuang. Setelah kering daun-daun lalu direbus dalam sebuah kuali besar dicampur dengan beberapa ramuan. Tujuannya ialah membersihkan daun-daun dari sisa kotoran dan melestarikan struktur daun supaya tetap bagus. Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun-daun diangkat dan dijemur kembali di atas tanah. Lalu pada sore hari daun-daun diambil dan tanah di bawah dedaunan dibasahi dengan air kemudian daun-daun ditaruh kembali supaya lembab dan menjadi lurus. Lalu keesokan harinya diambil dan dibersihkan dengan sebuah lap. Lalu daun-daun ditumpuk dan dipres pada sebuah alat yang di Bali disebut sebagai pamlagbagan. Alat ini merupakan penjepit kayu yang berukuran sangat besar. Daun-daun ini dipres selama kurang lebih enam bulan. Namun setiap dua minggu diangkat dan dibersihkan. Setelah itu daun-daun dipotong lagi sesuai ukuran yang diminta dan diberi tiga lubang: di ujung kiri, tengah, dan ujung kanan. Jarak dari lubang tengah ke ujung kiri harus lebih pendek daripada ke ujung kanan. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda pada saat penulisan nanti. Tepi-tepi lontar juga dicat, biasanya dengan cat warna merah. Setiap lempir lontar yang akan ditulisi, biasanya diberi garis dahulu supaya nanti kalau menulis tidak mencong-mencong. Hal ini dilakukan dengan menggunakan sebuah alat yang disebut panyipatan. Tali-tali kecil direntangkan pada dua paku bambu. Lalu dibawahnya ditaruh lempir-lempir lontar. Tali-tali ini lalu diberi tinta dan ditarik. Rentangan tali yang ditarik tadi lalu mental dan mencipratkan tinta ke lempiran lontar sehingga terbentuk garis-garis. Lalu lontar yang sudah siap ditulisi ditulisi menggunakan pisau tulis yang di Bali disebut pengropak atau pengutik. Setelah selesai ditulis sebuah lempir, biasanya pada kedua sisi, maka lempir harus dihitamkan. Cara menghitamkan dilakukan dengan menggunakan kemiri yang dibakar sampai mengeluarkan minyak. Lalu kemiri-kemiri ini diusapkan pada lempir dan ukiran aksara-aksara tadi jadi terlihat tajam karena jelaga kemiri. Minyak kemiri sekaligus juga menghilangkan tinta-tinta garisan. Lalu setiap lempir dibersihkan dengan lap dan kadangkala diolesi dengan minyak sereh supaya bersih dan tidak dimakan serangga. Lalu tumpukan lempir-lempir ini disatukan dengan sebuah tali melalui lubang tengah dan diapit dengan sepasang pengapit yang di Bali disebut sebagai takepan. Namun kadangkala lempir-lempir disimpan dalam sebuah peti kecil yang disebut dengan nama kropak di Bali.
            Prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan atau naskah cerita dan gambar yaitu gambar ilustrasi. Tulisan yang digunakan dalam prasi biasanya menggunakan huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang. Kedua bagian prasi ini dibuat dengan cara khusus, menggunakan alat tulis atau gambar khusus, yaitu sejenis pisau yang disebut pengropak. Dengan cara melukai permukaan daun lontar yang telah diolah siap-tulis, pembuat prasi mengatur tulisan dan gambar di atas permukaan lahan-tulis tersebut. Selanjutnya, untuk menunjukkan hasil goresan agar bisa dilihat, dibaca, permukaan lontar dilaburi minyak yang telah dicampur dengan jelaga. Warna hitam jelaga itu menjadi pengisi goresan-goresan yang telah dibuat, sementara bagian lain yang tidak berisi goresan dibersihkan kembali. Secara pasti, prasi adalah tulisan dan gambar yang menjorok ke dalam permukaan daun lontar. Karena berbentuk luka-gores, tulisan dan gambar menjadi aman, awet, dan tak bisa diganti. Mengganti tulisan atau gambar berarti merusak permukaan lontar. Sebagai dokumen, naskah di atas permukaan lontar aman dari upaya pengubahan. Segala perubahan, kecuali penambahan goresan tertentu yang “sejalan” dengan tulisan dan gambar yang asli, bisa dilihat secara kasat mata.

Penulisan prasi atau naskah ilustrasi di atas daun lontar ini memang membutuhkan waktu yang lama namun jika hal ini bisa diwariskan terus akan memberikan banyak aspek yang menguntungkan baik dari segi ekologi, sosial, dan ekonomi. Aspek ekologi yang berkembang dengan penulisan prasi dari daun lontar ini adalah daun lontar yang dipakai untuk penulisan prasi akan terus dimuliakan keberadaannya. Daun lontar yang berasal dari pohon sejenis palem yang disebut pohon siwalan ini hampir punah keberadaannya namun dengan adanya pelestarian penulisan prasi masyarakat Bali akan lebih memikirkan kembali penggunaan dan perbanyakan keberadaan pohon siwalan ini. Dari aspek sosial penulisan prasi di atas daun lontar memberikan manfaat yaitu berkembangnya pemikiran masyarakat dari tulisan-tulisan yang ada dan pelestarian budaya adat seperti aturan adat atau awig-awig, naskah-naskah kuno akan tetap lestari keberadaannya. Dari aspek ekonomi penulisan prasi di atas daun lontar ini memiliki nilai jual yang tinggi terutama bila di ekspor ke luar negeri akan menambah devisa bagi negara, karena banyak dari pengekspor tertarik akan seni penulisan prasi di atas daun lontar ini.


PENUTUP
              Penulisan prasi di atas daun lontar merupakan salah satu upaya pelestarian kearifan lokal masyarakat Bali yang bermanfaat dari aspek ekologi karena mampu menjaga pemuliaan tanaman siwalan, dari aspek sosial sebagai sarana penulisan aturan adat yang lebih aman dan awet serta dari aspek ekonomi yang memiliki nilai jual seni yang tinggi dan menambah devisa negara bila diekspor ke luar negri.
              Saran yang bisa diberikan adalah penggunaan daun lontar sebagai sarana penulisan prasi hendaknya dikembangkan lagi dengan penggunaan daun sejenis yang memiliki mutu dan manfaat yang sama dan penulisan prasi hendaknya masih terus diwariskan agar keberadaannya sebagai ciri masyarakat Bali tetap terjaga.


DAFTAR PUSTAKA

Tanpa nama. (8 April 2010). Prasi kearifan lokal masyarakat Bali. Kompas. Diunduh dari http://sosbud. kompasiana.com/2010/04/08/prasi-kearifan-lokal-masyarakat-bali/
Lontar. (tanpa tahun). Diunduh 31 Oktober 2011, dari Wikipedia: http://id.wikipedia. org/ wiki/ Lontar 
Joepoet, Y. (10 Desember 2010). Penulis lontar, I Wayan Muditadnana. Diunggah ke http://detik.travel/readfoto/2010/12/10/100324/1517984/1026/1/penulis-lontar-i-wayan-muditadnana

             






Tidak ada komentar:

Posting Komentar