PEMANFAATAN ATRAKTAN SEBAGAI PENGENDALI
LALAT BUAH (Bactrocera sp) DI
KEBUN CABAI
DESA MEKAR BUANA MAMBAL BALI
Oleh
:
Luh Putu Indah Purnama Sari
FKIP UNMAS DENPASAR
ABSTRACT
The main containt in chilli cultivation is the
high incidence of fruit fly (Bactrocera
sp). The pest causes significant damage on plant. To control the pest,
farmers commonly use insecticides excessively. The intensive use of
insecticides results in inefficiency and polluted environment. Therefore,
breakthrough in controlling fruit fly (Bactrocera
sp) is needed by using of sticky trap attractants. Attractants technology
has been developed and tested in laboratory and in plantation and gave
prospective results. Many chemical and visual lures attract insects and can be
used to monitor or directly reduce insect populations. Because these
attractants are used in ways that do not injure other animals or humans or
result in residues on foods or feeds, they can be used in an environmentally
sound manner in pest management programs. The effective use of attractants and
traps requires knowledge of basic biological principles and the pest- or
crop-specific details involved in individual applications. This publication
presents background information and specific guidance on the use of attractants
and traps for monitoring and directly controlling insect pests. Its purpose is
to aid farmers, homeowners, and others in understanding and making appropriate
use of available technology. Application of Attractants decreases the use of
insecticide and production cost and increase farmers' income. Therefore,
utilization of Attractants is prospective to be developed especially in Chilli
production centers and endemic for fruit fly (Bactrocera sp).
Keywords: Chilli, Fruit fly (Bactrocera sp), pest
control, Attractants
PENDAHULUAN
Cabai (Capsicum annum L.)
merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan di
Indonesia karena memiliki harga jual yang tinggi dan mempunyai beberapa manfaat
kesehatan, salah satunya adalah mengandung vitamin C yang bermanfaat sebagai
antioksidan yaitu zat anti kanker. Selain itu cabai banyak digunakan dalam
bentuk segar maupun olahan untuk konsumsi rumah tangga, rumah makan, serta
dalam industri bumbu masak. Namun kehilangan hasil pada tanaman cabai sering
menjadi kendala dalam produksinya hal ini disebabkan oleh hama lalat buah (Bactrocera sp) yang menyerang buah cabai
mulai dari yang masih muda dan paling banyak menyerang buah cabai yang hampir
masak. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengendalikan keberadaan lalat buah
ini salah satunya dengan penggunaan pestisida kimia.
Pestisida kimia mempunyai peranan penting dalam menjaga ketersediaan bahan
pangan namun penggunaannya menimbulkan dampak negatif, salah satunya masalah
pencemaran lingkungan. Selain itu penggunaan pestisida kimia cenderung merusak
kesetimbangan alam dan meninggalkan residu yang berbahaya pada komoditas
hortikultura yang dikonsumsi manusia. Oleh karena itu diperlukan upaya
pengendalian hama secara ramah lingkungan, salah satunya penggunaan perangkap
atraktan (sex feromon). Atraktan merupakan zat pemikat yang berupa aroma atau
bau yang dapat menarik perhatian serangga. Perangkap ini dapat mengendalikan
hama lalat buah tanpa meninggalkan residu yang berbahaya pada produk hortikultura.
Dari latar belakang tersebut
penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Pemanfaatan Atraktan
Sebagai Pengendali Lalat Buah (Bactrocera
sp) di Kebun Cabai Desa Mekar Buana Mambal Bali” dengan rumusan masalah
apakah penggunaan atraktan dapat mengendalikan hama lalat buah pada tanaman
cabai? , dimana penggunaan atraktan ini bertujuan agar para petani tidak lagi
menggunakan pestisida kimia sebagai pengendali hama dan dapat mengurangi
pencemaran lingkungan serta tidak meninggalkan residu yang berbahaya pada
komoditas hortikultura bila dikonsumsi.
PEMBAHASAN
Taksonomi Tanaman Cabai
Tanaman
cabai memiliki banyak nama populer di berbagai negara. Namun secara umum
tanaman cabai disebut sebagai pepper atau chili. Nama pepper lebih umum
digunakan untuk menyebut berbagai jenis cabai besar, cabai manis, atau paprika.
Sedangkan chili, biasanya digunakan untuk menyebut cabai pedas, misalnya cabai
rawit. Di Indonesia sendiri, penamaan cabai juga bermacam-macam tergantung
daerahnya. Cabai sering disebut dengan berbagai nama lain, misalnya, lombok,
mengkreng, rawit, cengis, cengek, dan masih banyak lagi sebutan lainnya. Dalam
tata nama ilmiah, tanaman cabai termasuk dalam genus Capsicum, dengan
klasifikasi lengkap sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub kelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annuum (cabai besar, cabai lonceng)
Capsicum frutescens (cabai kecil/cabai rawit)
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub kelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annuum (cabai besar, cabai lonceng)
Capsicum frutescens (cabai kecil/cabai rawit)
Morfologi Tanaman Cabai
Bentuk
luar atau morfologi tanaman cabai sebenamya bukan hal yang asing bagi sebagian
masyarakat Indonesia, terutama berbeda halnya dengan masyarakat yang tinggal di
perkotaan. Seringkali mereka belum pernah melihat tanaman cabai yang sebenamya.
Yang mereka ketahui hanyalah buah cabai yang dapat dimanfaatkan sebagai sayur.
Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun yang
berbentuk oval, lonjong, bahkan ada yang lanset. Warna permukaan daun bagian
atas biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan. Sedangkan
permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau muda, hijau pucat atau
hijau. Permukaan daun cabai ada yang halus adapula yang berkerut-kerut. Ukuran
panjang daun cabai antara 3-11 cm, dengan lebar antara 1-5 cm. Tanaman cabai
merupakan tanaman perdu dengan batang tidak berkayu. Biasanya, batang akan
tumbuh sampai ketinggian tertentu, kemudian membentuk banyak percabangan. Untuk
jenis-jenis cabai rawit, panjang batang biasanya tidak melebihi 100 cm. Namun
untuk jenis cabai besar, panjang batang (ketinggian) dapat mencapai 2 meter
bahkan lebih. Batang tanaman cabai berwarna hijau, hijau tua, atau hijau muda.
Pada batang-batang yang telah tua (biasanya batang paling bawah), akan muncul
wama coklat seperti kayu. Ini merupakan kayu semu, yang diperoleh dari
pengerasan jaringan parenkim. Tanaman cabai memiliki perakaran yang cukup rumit
dan hanya terdiri dari akar serabut saja. Biasanya di akar terdapat
bintil-bintil yang merupakan hasil simbiosis dengan beberapa mikroorganisme. Meskipun
tidak memiliki akar tunggang, namun ada beberapa akar tumbuh ke arah bawah yang
berfungsi sebagai akar tunggang semu. Bunga tanaman cabai juga bervariasi,
namun memiliki bentuk yang sama, yaitu berbentuk bintang. Ini menunjukkan
tanaman cabai termasuk dalam sub kelas Ateridae (berbunga bintang). Bunga
biasanya tumbuh pada ketiak daun, dalam keadaan tunggal atau bergerombol dalam
tandan. Dalam satu tandan biasanya terdapat 2-3 bunga saja. Mahkota bunga
tanaman cabai warnanya bermacam-macam, ada yang putih, putih kehijauan, dan
ungu. Diameter bunga antara 5-20 mm. Bunga tanaman cabai merupakan bunga
sempuma, artinya dalam satu tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina.
Pemasakan bunga jantan dan bunga betina dalam waktu yang sama (atau hampir sama),
sehingga tanaman dapat melakukan penyerbukan sendiri. Namun untuk mendapatkan
hasil buah yang lebih baik, penyerbukan silang lebih diutamakan. Karena itu,
tanaman cabai yang ditanam di lahan dalam jumlah yang banyak, hasilnya lebih
baik dibandingkan tanaman cabai yang ditanam sendirian. Pernyerbukan tanaman
cabai biasanya dibantu angin atau lebah. Kecepatan angin yang dibutuhkan untuk
penyerbukan antara 10-20 km/jam (angin sepoi-sepoi). Angin yang ter lalu
kencang justru akan merusak tanaman. Sedangkan penyerbukan yang dibantu oleh
lebah dilakukan saat lebah tertarik mendekati bunga tanaman cabai yang menarik
penampilannya dan terdapat madu di dalamnya.
Cabai (Capsicum annum L.)
merupakan tanaman sayuran dan buah yang banyak ditanam di Indonesia, memiliki
harga jual yang tinggi dan merupakan komoditas hortikultura yang bermanfaat
bagi kesehatan karena mengandung vitamin C yang merupakan antioksidan sebagai
zat anti kanker. Kandungan terbesar antioksidan ini adalah pada cabai hijau.
Cabai termasuk dalam suku terong-terongan dan merupakan tanaman yang mudah
ditanam di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Tanaman cabai banyak
mengandung minyak atsiri yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan rasa hangat
dan panas bila digunakan sebagai rempah-rempah. Cabai bisa ditanam dengan mudah
sehingga bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Tanaman cabai cocok ditanam pada tanah yang kaya humus, gembur, dan sarang
serta tidak tergenang air; pH tanah yang ideal sekitar 5-6. Waktu tanam yang
baik untuk lahan kering adalah pada akhir musim hujan (Maret-April). Tanaman
cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas
dari hama dan penyakit. Buah cabai yang telah diseleksi untuk bibit dijemur
hingga kering. Salah satu kendala utama dalam sistem produksi cabai di
Indonesia adalah adanya serangan hama pada buah cabai. Hama ini sering
menyebabkan gagal panen. Buah cabai yang terserang sering tampak sehat dan utuh
dari luar tetapi bila dilihat di dalamnya membusuk dan mengandung larva lalat.
Penyebab utamanya adalah lalat buah yang menginfeksi dengan meletakkan telur
pada buah cabai yang masih muda bahkan yang akan masak. Upaya penangulangan
untuk hama lalat buah ini telah banyak dilakukan diantaranya pembrongsongan
yang dapat mencegah serangan lalat buah. Akan tetapi, cara ini tidak praktis
digunakan pada tanaman cabai dalam areal yang luas. Sementara penggunaan
pestisida kimia selain mencemari lingkungan juga berbahaya untuk produk
hortikultua yang dikonsumsi manusia. Karenanya, diperlukan cara penanggulangan
yang lebih ramah lingkungan dan cocok diterapkan di areal luas.
Taksonomi Lalat Buah (Bactrocera sp)
Menurut
Evans (1984), klasifikasi lalat buah
adalah sebagai berikut:
Kingdom :
Animalia
Filum :
Arthropoda
Kelas :
Insecta
Ordo :
Diptera
Famili :
Tephritidae
Genus :
Bactrocera
Satu
ekor lalat betina Bactrocera sp.
menghasilkan telur 1200-1500 butir. Telur berwarna putih, berbentuk bulat
panjang, dan diletakkan berkelompok 2-15 butir. Seekor lalat betina dapat
meletakkan telur 1-40 butir/hari. Setelah 2 hari telur menetas menjadi larva
yang berwarna putih kekuningan atau putih keruh, berbentuk bulat panjang dengan
salah satu ujungnya runcing. Caput berbetuk runcing dengan satu sampai dua
bintik yang jelas, mempunyai alat kait mulut. Stadia larva terdiri atas tiga instar. Lalat buah
rata-rata berukuran 0,7 mm x 0,3 mm. Toraks berwarna oranye, merah kecoklatan,
coklat, atau hitam dan memiliki sepasang sayap. Pada sayap Bactrocera
dorsalis Complex, biasanya terdapat dua
garis membujur dan sepasang sayap trasparan. Pada abdomen umumnya terdapat dua
pita melintang dan satu pita membujur warna hitam atau bentuk huruf T yang
kadang-kadang tidak jelas. Ujung abdomen lalat buah betina lebih runcing dan
mempunyai alat peletak telur yang cukup kuat untuk menembus kulit buah,
sedangkan pada lalat buah jantan abdomennya lebih bulat. Daur hidup lalat buah
dari telur sampai dewasa di daerah tropis berlangsung 25 hari. Setelah keluar
dari pupa, lalat buah membutuhkan sumber protein untuk makanannya dan persiapan
bertelur (Kalshoven, 1981).
Lalat buah (Bactrocera sp)
menyerang berbagai macam komoditas hortikultura buah dan sayuran yang ada di
Indonesia, salah satunya adalah tanaman cabai. Lalat buah termasuk
Ordo Dipter, Famili Tephtritidae terdiri dari 4000 spesies, terbagi dalam 500
genera. Famili ini merupakan famili terbesar dari ordo Diptera dan merupakan
salah satu famili yang terpenting karena secara ekonomi sangat merugikan.
Kehidupan dan perkembangan lalat buah
dipengaruhi banyak faktor, diantaranya faktor suhu, kelembaban dan ketersediaan
inang. Ketiga faktor tersebut tersedia cukup di daerah tropis seperti di
Indonesia sehingga menguntungkan bagi perkembangan populasi lalat buah. Di daerah tropis lalat buah mendapat gangguan iklim lebih kecil
dibandingkan daerah lain, daerah sedang dan dingin. Ketersediaan pakan di
daerah tropik lebih besar oleh karena itu serangga termasuk lalat buah selalu
mendapat pakan yang cukup terlebih untuk berkembang biak.
Lalat buah menyerang buah cabai mulai dari yang masih muda dan paling
banyak menyerang cabai yang hampir masak. Serangan lalat buah di mulai dari
menusuk kulit buah dengan alat peletak telur kemudian meletakkan telurnya,
dalam 1-20 hari telur akan tumbuh menjadi larva. Larva yang tumbuh akan menggali
daging buah dan diikuti masuknya bakteri dan jamur sehingga buah cabai akan
mengalami pembusukan dengan cepat. Buah yang terserang akan jatuh ke tanah
bersama dengan larva lalat buah kemudian larva ini masuk dalam stadium pupa
10-12 hari kemudian menjadi imago (serangga dewasa) dapat bermigrasi sejauh
5-100 km dan aktif terbang pada jam 06.00-09.00 pagi dan sore hari jam
15.00-18.00 (Fletcher, 1989 dalam Hareunisa,R).
Serangga memiliki cara
yang unik untuk berkomunikasi dengan serangga yang lain. Dengan bau atau
senyawa kimia serangga saling memberikan informasi, dan mengetahui pasangannya.
Zat komunikasi anatar serangga ini adalah feromon dan alelokimia.Feromon adalah
zat kimia yang berperan dalam komunikasi antar oraganisme dari spesies yang
sama, sedangkan alelokimia adalah zat kimia yang berperan dalam komunikasi
antar organisme dari spesies yang berbeda. Alelokimia dibagi menjadi dua yaitu
alomon, zat yang menghasilkan keintungan bagi organisme panghasil, dan
khairomon, zat yang memberikan keuntungan bagi organisme yang menerima.
Feromon yang sering
digunakan serangga untuk berkomunikasi dengan sesama spesiesnya adalah dengan
feromon seks, feromon alarm, dan feromon pelacak. Feromon seks digunakan untuk
menarik serangga lain untuk melakukan proses reproduksi. Feromon ini dihasilkan
oleh serangga betina untuk menarik serangga jantan untuk datang dan melakukan
kopulasi. Feromon seks ini dapat berperan sebagai atraktan atau senyawa pemikat
bagi serangga jantan. Dengan sifat serangga yang seperti ini maka dapat
dikembangkan perangkap aroma dengan menggunakn atraktan yang memiliki aroma
yang sama dengan feromon seks yang dihasilakn oleh serangga. Metil Eugenol
merupakan atraktan yang sering digunakan untuk mengendalikan lalat buah Bactrocera
sp. Metil Eugenol sangat dibutuhkan oleh lalat jantan untuk dikonsumsi. Zat ini
bersifat volatile atau menguap dan melepaskan aroma wangi dengan radius
mencapai 20-100 m, tetapi jika dibantu oleh angin jangkauan bisa mencapai 3 km (Kusnaedi,
1999 dalam Hareunisa,R).
Hubungan timbal balik serangga dan tanamanan inang dalam suatu
komunitas lahan perkebunan sangat dipengaruhi oleh lingkungan biotik, abiotik
dan campur tangan manusia dalam rangka meningkatkan hasil produk
pertanian. Salah satu campur tangan
manusia dalam peningkatan produksi pertanian adalah penggunaan pestisida dalam
mengendalikan populasi hama. Namun penggunaan pestisida kimia sekarang ini
banyak menimbulkan dampak yang merugikan baik bagi lingkungan maupun bagi
komoditas hortikultura itu sendiri. Oleh karena itu banyak cara yang digunakan
untuk pengendalian hama dalam meningkatkan hasil perkebunan salah satu cara
dengan menggunakan perangkap atraktan sebagai pengendali hama lalat buah. Penggunaan atraktan merupakan cara pengendalian hama lalat buah yang ramah
lingkungan, karena baik komoditas yang dilindungi maupun lingkungannya tidak
terkontaminasi oleh atraktan. Selain itu atraktan ini tidak membunuh serangga
bukan sasaran (serangga berguna seperti lebah madu, serangga penyerbuk atau
musuh alami hama), karena bersifat spesifik, yaitu hanya memerangkap hama lalat
buah, sehingga tidak ada risiko atau dampak negatif dari penggunaannya.
Penggunaan atraktan sebagai
pengendali lalat buah pada tanaman cabai dapat membantu dalam meningkatkan
hasil budidaya tanaman cabai dimana selain ramah lingkungan atraktan ini tidak
menimbulkan residu yang berbahaya seperti pada penggunaan pestisida. Atraktan
merupakan bahan pemikat (sex feromon) yang berupa aroma atau bau tertentu yang
dapat menarik perhatian serangga. Karenanya penggunaan atraktan dapat
dikembangkan dengan pembuatan perangkap dari botol bekas. Pertama-tama yang dilakukan adalah wadah plastik diberi lubang pada sisi
atas dan bawahnya. Pada bagian atas wadah plastik diberi kawat untuk
menempelkan kapas dan kawat penggantung. Pada saat pemakaian, wadah plastik
dimiringkan sehingga lubang terletak pada bagiian kiri dan kanan. Metil eugenol
dimasukkan kedalam kapas dengan menggunakan jarum suntik sebanayak 2 ml ke
dalam kapas. Alat perangkap kemuudian dibawa ke kebun cabai dan digantungkan pada
ranting daun yang kokoh untuk memastikan perangkap tidak jatuh. Perangkap diletakkan pada petak-petak tanaman secara diagonal maka serangga
lalat buah akan tertarik dan mendekati perangkap. Alat perangkap dibiarkan di pertanaman selama satu minggu. Pengamatan
diliakukan setiap hari atau minimal dua hari sekali. Cara ini dapat mengendalikan hama lalat buah, karena dengan
perangkap atraktan ini hama lalat buah yang masuk ke dalam perangkap dapat
dipantau jumlahnya setiap satu minggu. Atraktan nabati
sangat dibutuhkan oleh para petani dan praktisi di bidang hortikultura,
khususnya buah-buahan, sehingga teknologi ini sangat dinantikan oleh mereka.
Atraktan nabati dapat digunakan di semua lokasi di mana tanaman hortikultura
dibudidayakan. Hasil pengujian di beberapa daerah menunjukkan bahwa atraktan
nabati ini mampu memerangkap lalat buah per minggunya dalam satu perangkap
berkisar dari puluhan, ratusan hingga ribuan, bergantung pada komoditas, cuaca,
dan lokasi. Atraktan mampu bertahan hingga satu bulan, namun pada minggu kedua
daya tangkapnya sudah mulai menurun, sehingga penambahan atraktan perlu
dilakukan setiap dua minggu.
PENUTUP
Pengendalian hama lalat buah pada cabai dengan menggunakan
perangkap atraktan lebih efektif dan efisien dalam menekan populasi lalat buah
dan kehilangan hasil panen pada areal yang luas. Selain itu penggunaan
perangkap atraktan ini juga lebih ramah lingkungan dan tidak meninggalkan
residu yang berbahaya pada komoditas hortikultura. Atraktan sendiri mudah
ditemukan pada toko-toko pertanian dan dapat dibuat sendiri dari tumbuhan
dengan memanfaatkan aroma dan bau yang dihasilkan tumbuhan tertentu yang
menarik bagi serangga. Pembuatan perangkap atraktan yang sederhana juga
menguntungkan bagi penggunaannya di masyarakat. Selain itu juga penggunaan
perangkap atraktan ini mampu mengurangi kerusakan buah cabai pada produksinya.
Hanya saja pada
dasarnya masih banyak petani buah di perkebunan cabai desa Mekar Buana Mambal
Bali ini belum mengetahui cara pengendalian menggunakan perangkap atraktan ini.
Sebaiknya pengendalian lalat buah dengan perangkap atraktan ini lebih
diperkenalkan pada petani buah khususnya cabai dan menjangkau lebih banyak lagi
daerah perkebunan buah cabai dan buah-buah yang lain. Saran saya sebaiknya
penelitian ini dikembangkan lagi sebagai media dalam pembelajaran outdoor untuk
siswa SMP atau SMA karena banyak materi yang bisa dikembangkan disini menjadi
media pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman siswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Budimarwanti, C. (tanpa tahun). Feromon dan metileugenol sebagai pengendali hama tanpa merusak lingkungan. Diunduh dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/16197141149.pdf
Nurnasari, E. (11 Mei 2009). Pemanfaatan senyawa kimia alami sebagai
alternatif pengendalian hama tanaman. Diunggah ke
http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_pangan/
pemanfaatan-senyawa-kimia-alami-sebagai-alternatif-pengendalian-hama-tanaman/
Ferry.(12 Desember
2005). Minyak sereh dapur. Diunggah ke http://ferry-atsiri.blogspot.com/
2006/10/minyak-sereh-dapur-lemongrass-oil.html
Haerunisa, R. (19 Juni 2010). Ilmu hama tumbuhan dasar. Diunggah
ke http://rizkyhaerunisa08.
student.ipb.ac.id/2010/06/19/laporan-ilmu-hama-tumbuhan-dasar-atraktan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar