bab i
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Indonesia
merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan wisata dunia, karena merupakan
negara kepulauan terbesar yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan pusat
keanekaragaman flora dan fauna. Beberapa pulau yang ada di Indonesia telah
berkembang menjadi daerah tujuan wisata yang ramai dikunjungi baik wisatawan
domestik maupun mancanegara, salah satunya adalah pulau Bali. Perkembangan
pariwisata di Bali mampu memberikan kontribusi yang menjanjikan bagi
perekonomian masyarakat daerah yang menjadi destinasi pariwisata.
Perkembangan pariwisata di pulau
Bali juga didukung oleh keadaan alamnya yang alami dan memiliki panorama yang
indah, hal inilah yang menjadi alasan mengapa banyak orang datang ke Bali untuk
berwisata. Aktivitas pariwisata di Bali seharusnya bisa memberikan banyak
keuntungan bagi masyarakatnya dan juga bagi lingkungan tujuan wisata. Namun
keadaan yang terjadi justru sebaliknya, aktivitas pariwisata tidak hanya
berdampak pada perubahan sosial masyarakatnya juga berdampak merugikan bahkan
cendrung merusak lingkungan yang ada. Perkembangan pariwisata di Bali
menimbulkan pemikiran masyarakat yang berorientasi terhadap uang dan banyak
masyarakat Bali menjual tanahnya untuk pembangunan vila atau hotel-hotel.
Aktivitas pembangunan sarana dan
prasarana hotel dan vila di Bali memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan
flora dan fauna yang ada. Pulau serangan adalah salah satu daerah yang mengalami
kerusakan flora dan fauna akibat kegiatan pariwisata. Rencana pembangunan
resort untuk tujuan wisata di pulau serangan ini menyebabkan setiap kawasan di
pulau serangan ini rusak parah. Belum lagi rencana pembangunan ini terhenti
karena kurangnya dana dan krisis moneter yang terjadi beberapa tahun lalu. Hal
inilah yang menyebabkan terganggunya keberlangsungan flora dan fauna di pulau
serangan. Salah satu contohnya adalah keberlangsungan penyu di pulau serangan.
Populasi penyu di pulau serangan mengalami penurunan tiap tahunnya, akibat
terganggunya habitat penyu dan permintaan cindera mata berbahan dasar penyu
yang banyak disukai wisatawan.
Karena latar belakang inilah penulis
bermaksud melakukan kajian mengenai “ Dampak Pariwisata Terhadap Penyusutan
Populasi Penyu Di Pulau Serangan “
B. Rumusan Masalah
ü Bagaimana
dampak pariwisata terhadap keberadaan populasi penyu di pulau serangan?
ü Apakah ada
solusi untuk permasalahan akibat dampak pariwisata di pulau serangan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
dampak-dampak pariwisata terhadap lingkungan dan populasi penyu di pulau
serangan.
bab ii
Tinjauan
Pustaka
A. Pulau Serangan
Pulau
serangan adalah salah satu kawasan yang secara geografis terletak di Kecamatan
Denpasar Selatan, Kotamadya Denpasar, Propinsi Bali. Lokasi pulau ini sangat
strategis, dikelilingi destinasi wisata utama Tanjung Benoa dan Nusa Dua di
selatan. Kawasan Sanur di sebelah timur daya, dan disebelah baratnya pelabuhan
laut Benoa. Sedangkan jantung kota Denpasar ada di sebelah utara dengan jarak
tempuh sekitar 15 menit. Luas wilayahnya 523 hektar, dengan lahan 48 hektar
milik Desa Adat Serangan dan 476 hektar milik manajemen Bali Turtle Island
Development (BTID). Hak kepemilikan tanah ini terbelah saat terjadinya
reklamasi yang dilakukan BTID. Pulau Serangan masih dipertahankan
sebagai ikon yang diberkati dengan suasana keindahan laut dan keagungan
rohani, sebuah definitif “Golden Island” (tanah yang ditutupi dengan pasir emas
berkilauan), pernah memabukkan dan menawan pengunjung dengan cinta, harmoni dan
kenangan.
Kata
Serangan disebutkan berasal dari kata “sira” dan “angen”. Dulu, dalam pelayaran
yang melelahkan dari Makassar, para pelaut sering singgah di Serangan untuk
mencari air minum. Setelah minum di sana, mereka pun akhirnya terkena pengaruh
sira angen atau orang-orang disekitar sana menyebut merasa sayang atau kangen
dengan Serangan. Sehingga, tak sedikit dari pelaut Bugis itu memutuskan menetap
di sana. Di Pulau Serangan, satwa langka penyu sering mendarat untuk bertelur.
Serangan juga menjadi surga bagi para pemuja keindahan alam bawah laut lantaran
hamparan padang lamun di situ tumbuh subur. Di sanalah “rumah” yang nyaman bagi
berbagai jenis ikan hias, ikan konsumsi, udang, kepiting dan berbagai biota
laut lainnya. Pulau Serangan sebagai daerah dengan potensi besar yang dipenuhi
dengan aspirasi, nilai-nilai sejarah dan budaya. Serangan yang mengekspos pulau
sebagai daerah yang telah berhasil pencampuran suasana laut, spiritualitas dan
budaya dengan getaran kreatif multikulturalisme, semangat komunitas,dan
berkelanjutan. Untuk mengekspos pesona serangan, setiap tahun dirayakan sebuah
festival yang disebut Pulau Serangan Green Festival. Begitu banyak pesona
yang di tawarkan di Pulau Serangan. Bila berkunjung ke tempat ini kita akan
menemukan sebuah pura yang di kenal oleh masyarakat Hindu dengan Pura Sakenan.
Nama Pura Sakenan berasal dari kata sakya yang berarti menyatukan pikiran
langsung kepada Tuhan. Tempat suci di Serangan dibangun oleh Mpu Kuturan pada
abad ke-12 dan sebagian lagi oleh Danghyang Nirartha pada abad ke-15. Orang
suci membangun tempat suci ini karena juga merasa sira angen dengan keindahan
alam yang natural dan vibrasi spiritual Serangan. Maka, dibangunlah di situ
tempat suci yang memiliki kekhasan arsitektur mirip dengan Pura Luhur Uluwatu
yang berlokasi di ujung selatan Pulau Bali. Sementara itu, dalam “Dwijendra
Tattwa” disebutkan bahwa Danghyang Nirartha di tempat suci ini sempat melakukan
penyatuan pikiran dan diri dengan Tuhan. Dalam perjalanan suci mengelilingi
pantai-pantai di Pulau Bali, beliau sempat menetap di Serangan. Di situlah
beliau membangun Pura Dalem Sakenan. Kisah perjalanan Danghyang Nirartha ini
akhirnya jadi tradisi masyarakat Hindu di seantero Bali di saat karya besar di
Pura Dalem Sakenan yang bertepatan dengan Hari Raya Kuningan. Mengingat Pulau
Serangan terpisah dari daratan Bali, para pamedek itu tangkil dari daratan Bali
menuju Serangan dengan menaiki jukung. Saat air laut dalam kondisi surut, para
pamedek harus siap berjalan kaki melewati semak belukar, menyisir hutan bakau
yang panjangnya sekitar dua kilometer. Tradisi itu berlangsung dari masa ke
masa.
Beberapa
puluh tahun yang lalu pulau Serangan merupan salah satu rumah bagi beberapa
jenis penyu laut. Karenanya pulau ini dikenal dengan julukan “ Pulau Penyu ”.
Pulau serangan dulunya adalah sebuah pulau kecil di sebelah tenggara Bali yang
hanya bisa dicapai dengan menggunakan perahu. Pulau Serangan yang ada saat ini
merupakan hasil reklamasi putra mantan presiden Soeharto, Tommy Soeharto.
Awalnya reklamasi ini bertujuan untuk membuat sebuah resort dengan kelengkapan
tempat wisatanya, namun tidak terealisasi dan bahkan terabaikan pembangunannya.
Akibat dari terabaikannya pembangunan yang ada menyisakan dampak yang serius
bagi lingkungan di sekitar kawasan pulau Serangan. Terganggunya perkembangan
flora dan fauna di pulau Serangan menjadi hal yang sangat serius yang harus
diperhatikan.
B. Penyu Laut
Penyu
merupakan hewan laut yang melambangkan keabadian, karena telah hidup ratusan
juta tahun yang lalu. Penyu memiliki sepasang tungkai depan yang berupa kaki
pendayung yang memberinya ketangkasan berenang di dalam air. Walaupun seumur
hidupnya berkelana di dalam air, sesekali hewan kelompok vertebrata, kelas
reptilia ini tetap harus sesekali naik ke permukaan air untuk mengambil nafas.
Itu karena penyu bernafas dengan paru-paru. Penyu umumnya bermigrasi dengan
jarak yang cukup jauh dengan waktu yang tidak terlalu lama. Jarak 3.000 km
dapat ditempuh dalam waktu 58-73 hari. Penyu mengalami siklus bertelur yang
beragam, mulai dari 2 – 8 tahun. Penyu jantan menghabiskan seluruh hidupnya di
laut, sedangkan yang betina sesekali ke daratan untuk bertelur. Penyu betina
menyukai pantai berpasir yang sepi dari manusia, sumber bising, dan cahaya sebagai
tempat bertelurnya. Pada saat mendarat gangguan cahaya ataupun suara dapat
mengurungkan niat penyu untuk bertelur. Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan
oleh penyu, karena dari ratusan telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu
betina, paling banyak hanya belasan tukik (bayi penyu) yang berhasil sampai ke
laut, kembali, dan tumbuh dewasa. Itu pun tidak memperhitungkan
faktor perburuan oleh manusia dan pemangsa alaminya
seperti kepiting, burung dan tikus di pantai, serta ikan-ikan besar begitu tukik tersebut
menyentuh perairan dalam.
Jenis-Jenis
Penyu yang masih ada di dunia hingga sekarang adalah :
Dari ketujuh jenis ini,
hanya penyu Kemp's ridley yang tidak pernah tercatat ditemukan di perairan
Indonesia. Dari jenis-jenis tersebut, penyu belimbing adalah yang terbesar
dengan ukuran panjang badan mencapai 2,75 meter dan bobot 600 - 900 kilogram.
Penyu lekang adalah yang terkecil, dengan bobot sekitar 50 kilogram. Namun
demikin, jenis yang paling sering ditemukan adalah penyu hijau.
Penyu hijau adalah salah satu jenis
penyu laut yang umum dan jumlahnya lebih banyak di banding beberapa penyu
lainnya. Jenis seperti penyu belimbing di laporkan telah sangat berkurang
jumlahnya dan termasuk salah satu jenis yang hampir hilang di perairan, hanya
beberapa tempat yang masih sesekali menjadi tempat memijah bagi jenis penyu
ini. Penyu belimbing adalah penyu yang di lindungi dan masuk dalam CITES
(Convention on International Trade of Endangered Species). Meskipun jumlahnya
lebih banyak di banding penyu lainnya, populasi penyu hijau tiap tahun
berkurang oleh penangkapan dan membunuhan baik sengaja maupun tidak sengaja
yang terperangkap oleh jaring. Penyu laut khususnya penyu hijau adalah hewan
pemakan tumbuhan (herbivore) namun sesekali dapat menelan beberapa hewan
kecil. Hewan ini sering di laporkan berada di sekitar padang lamun
(seagrass) untuk mencari makan, dan kadang di temukan memakan macroalga di
sekitar padang alga. Pada padang lamun hewan ini lebih menyukai beberapa
jenis lamun kecil dan lunak seperti (Thalassia testudinum, Halodule
uninervis, Halophila ovalis, and H. ovata). Pada padang
alga, hewan ini menyukai (Sargassum illiafolium and Chaclomorpha
aerea). Pernah di laporkan pula bahwa penyu hijau memakan beberapa
invertebrate yang umumnya melekat pada daun lamun dan alga.
BAB III
Hasil dan Pembahasan
Sejak tahun 70-an
industri pariwisata ada di Pulau Serangan, dengan turis yang datang untuk
melihat penyu. Namun, pada akhir tahun 80-an, industri pariwisata itu
berkembang ketika sekelompok investor mau membangun resort di Serangan, namanya
Bali Turtle Island Development (BTID). Proyek yang direncanakan BTID adalah
untuk membangun lapangan golf, resort, lagoon untuk sarana rekreasi air, yacht
club, beach club house, pembangunan Superlot yang berupa villa, fasilitas
penunjang pariwisata lainnya, serta marina atau ferry dan jembatan penyeberangan
dari daratan pulau Bali ke Pulau Serangan. Selain itu, supaya proyek BTID lebih
menarik masyarakat Bali dan Serangan, ada rencana untuk membangun pusat
penelitian penyu dan bakau, kiosk dan restoran, serta perbaikan fasilitas
pemukiman masyarakat seperti sarana air, listrik, wc umum dan lain-lainnya.
Namun pembangunan BTID ini terhenti karena kurangnya dana dan krisis moneter
yang terjadi. Hal ini menyebabkan kawasan pulau Serangan terabaikan dan rusak
parah, serta menyebabkan terganggunya perkembangan flora dan fauna kawasan
tersebut.
Selain kerusakan
lingkungan akibat terhentinya pembangunan di kawasan pulau Serangan, aktivitas
pariwisata juga menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan
terhambatnya perkembangan flora dan fauna kawasan pulau Serangan. Kegiatan
pariwisata dewasa ini memberi dampak yang merugikan bagi lingkungan
perkembangan flora dan fauna karena aktivitas atau kegiatan pariwisata
meningkatkan polusi bagi lingkungan, contohnya saja kerusakan air dan tanah
akibat sampah yang tertimbun dan dibuang kelaut atau sungai. Pencemaran udara akibat
transportasi yang digunakan oleh para wisatawan serta yang paling parahnya
adalah banyaknya perburuan hewan-hewan langka yang dilindungi karena para
pelaku wisata banyak yang menyukai cindera mata yang berasal dari hewan-hewan
langka tersebut. Salah satu hewan yang menjadi korban akibat adanya kegiatan
wisata adalah penyu.
Penyu yang banyak hidup
di pulau Serangan mengalami penurunan populasi akibat perubahan iklim,
lingkungan, dan aktivitas pariwisata. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, faktor pertama, adanya penangkapan penyu dengan sengaja yang bertujuan
mengambil telur serta dagingnya untuk dijual dan dikonsumsi. Tidak cukup hanya
telur dan dagingnya saja yang diambil, tempurung atau karapas penyu juga
dijadikan alat untuk kepentingan berbisnis. Tempurung penyu diambil untuk
dijadikan bahan baku kerajinan tangan karena memiliki motif dasar yang khas dan
menarik. Umumnya tempurung yang digunakan adalah tempurung penyu sisik karena motif
sisiknya yang unik dan indah. Sisik kerapas penyu sisik atau dalam bahasa
Inggris disebut tortoishell atau bekko dalam bahasa Jepang ini bisa dibuat
aneka cinderamata yang di sebagian masyarakat memunculkan kesan eksotik.
Cinderamata yang dibuat antara lain cincin, gelang, sisir, korek api, dan kotak
perhiasan. Faktor kedua yaitu karena perusakan pantai tempat penyu bertelur.
Pembangunan berbagai resort, hotel dan kawasan perumahan di pantai mengancam
kawasan penyu bertelur. Ini disebabkan penyu sangat sensitif terhadap cahaya,
keramaian, dan bunyi bising sehingga membuat penyu takut mendarat untuk
bertelur. Kehadiran manusia yang melakukan kegiatan disekitar kawasan penyu
bertelur juga meningkatkan kadar gangguan terhadap penyu. Misalnya, gangguan yang
ditimbulkan oleh lampu-lampu yang ada di pinggir pantai, menyalakan api unggun,
mengambil gambar dengan blitz kamera, gangguan suara yang ditimbulkan oleh
suara nyanyian orang-orang yang sedang mengadakan api unggun di pantai, olah
raga air seperti jetski, dan kendaraan bermotor. Kegiatan lain seperti
menambang pasir pantai, membuang sampah sembarangan juga merusak kawasan penyu
bertelur. Anak-anak penyu yang baru menetas akan menuju ke arah pantai air
dengan adanya petunjuk cahaya. Ini karena cahaya langit di atas laut lebih
cerah daripada langit di daratan dan hal ini berlaku pada waktu siang dan
malam. Cahaya buatan manusia pada waktu malam, seperti misalnya lampu dari
hotel dan resort membuat anak penyu tersesat dan hilang arah. Sehingga
menyebabkan mereka lengah dan mudah menjadi mangsa apabila siang tiba. Oleh
karena itu penting untuk tidak memasang lampu yang mengarah ke pantai pada
musim penyu bertelur untuk menghindari hal ini terjadi. Dan faktor yang ketiga
adalah pencemaran laut akibat limbah plastik yang dibawa oleh para wisatawan
dan dibuang kelaut, faktor-faktor inilah yang menyebabkan populasi penyu
mengalami penurunan. Dan kegiatan pariwisata memberi dampak yang cukup besar
yang menyebabkan populasi penyu menurun.
BAB IV
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Aktivitas atau kegiatan pariwisata di kawasan
pulau Serangan memberi banyak keuntungan bagi pemasukan devisa di sektor
pariwisata, namun juga memberikan dampak yang merugikan bagi perkembangan
populasi penyu di kawasan ini. Dari tahun ke tahun populasi penyu di pulau ini
terus mengalami penurunan, meskipun sudah dilakukan upaya konservasi untuk
menjaga populasi penyu di pulau ini.
Saran
Saran penulis terhadap permasalahan ini adalah sebaiknya
pulau Serangan dijadikan kawasan konservasi penyu yang alami tanpa adanya
pembangunan tempat wisata yang dapat mengganggu habitat dan perkembangan penyu
laut. Serta adakan pendekatan-pendekatan dengan anak usia dini dan mengajarkan
kepada mereka untuk lebih mencintai alam dan makhluk hidup yang tinggal di
dalamnya serta melarang perburuan penyu untuk cinderamata dan memberikan sanksi
yang tegas bagi yang melanggar.
Balipost. (07 September 2010). Menyelami adat dan kebudayaan masyarakat
bali. Balipost. Diakses dari http://okanila.brinkster.net/mediaFull.asp?ID=538
Muliartha. (30 November 2009). Penyu, Antara Pelestarian dan Upacara Agama.
Diakses dari http://www.greenradio.fm/news/latest/1653-penyu-antara-pelestarian-dan-upacara-agama.html.
Putra, D. Akibat Kurang Dana, Konservasi Penyu Pulau Serangan
Terancam Ditutup. Diakses dari http://www.indosmarin.com/20090220-akibat-kurang-dana-konservasi-penyu-pulau-serangan-terancam-ditutup.html