PENULISAN PRASI DI ATAS DAUN LONTAR
SEBAGAI
WARISAN BUDAYA MASYARAKAT BALI
YANG PATUT DILESTARIKAN
Luh Putu
Indah Purnama Sari
FKIP UNMAS DENPASAR
ABSTRACT
PRASI is the creation of a
diverse group of creative people in the world of conflict resolution who
themselves embody the unity of research and practice. Wealth of the nation's heritage for future generations never
programmed systemic. Many activities are conducted through the inheritance of
hereditary habit. There was never any evaluation of effectiveness of this type
and how heritage is underway. All activities run on natural heritage. Prasi, physical,
consisting of the writings or the story text and illustrations. Writing is used
in prasi usually use the letter of Bali. Images that complement the style of
writing made with puppets. The second part of this prasi made in a special way,
using special stationery or pictures, types of knives called pengropak. By way of injuring
the surface of the palm leaves that have been processed ready written, prasi
makers set the text and images on the surface of the ground-writing.
Furthermore, to show the results of scratches to be seen, read, surface
dilaburi palm oil mixed with soot. Prasi or script writing on palm leaves illustration of this takes
a long time but if this can be inherited will continue to provide many
beneficial aspects of both in terms of ecological, social, and economic. Prasi written on palm
leaves is one of the preservation of indigenous peoples in Bali and write prasi
still have to continue to exist as an inherited trait Balinese society is
maintained.
Keyword : Creative people, pengropak,
beneficial aspects
PENDAHULUAN
Prasi adalah hasil olah pikir dan rasa masyarakat Bali sebagai respon
positif untuk menyelaraskan keperluan kegiatan dengan lingkungan. Sejak masa lalu, masyarakat Bali telah mampu merespons keperluan
mengabadikan data tertulis dalam bentuk lembaran naskah. Salah satu di antara
bahan yang digunakan sebagai bahan lembaran naskah yang pernah dikembangkan
sebagai sarana dokumentasi data tertulis adalah lembaran daun lontar. Penulisan
prasi atau yang disebut naskah ilustrasi ini banyak dikembangkan oleh
masyarakat Bali dengan menggunakan daun lontar sebagai sarana tempat menulisannya.
Prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar
(gambar ilustrasi). Tulisan dalam prasi biasanya menggunakan huruf Bali. Gambar
yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang. Kedua bagian prasi ini
dibuat dengan cara khusus, menggunakan alat tulis atau gambar khusus, yaitu
sejenis pisau yang biasanya disebut dengan pengropak. Cara menulis prasi di
atas daun lontar ini dilakukan dengan cara melukai permukaan daun lontar yang
telah diolah siap-tulis, pembuat prasi mengatur tulisan dan gambar di atas
permukaan lahan-tulis tersebut.
Budaya penulisan prasi di atas daun lontar ini lambat laun semakin
ditinggalkan karena masyarakat menganggap penulisan dengan cara ini sangat kuno
dan membutuhkan waktu yang lama untuk pembuatannya. Hanya beberapa masyarakat
Bali di daerah tertentu saya yang masih menjaga kelestarian budaya penulisan
prasi di atas daun lontar ini. Salah satu daerah yang masih menggunakan lontar
sebagai sarana penulisan prasi adalah daerah Bungkulan, Kabupaten Buleleng.
Dari latar belakang tersebut
penulis bermaksud membuat paper kearifan lokal yang berjudul “Penulisan prasi
di atas daun lontar sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan” dengan
tujuan agar kearifan lokal penulisan prasi tetap terjaga kelestariannya serta
ciri khas dari masyarakat bali tidak hilang.
PEMBAHASAN
Pewarisan
kekayaan bangsa kepada generasi penerus tidak pernah terprogram secara
sistemik. Banyak kegiatan pewarisan yang terlaksana melalui kebiasaan
turun-temurun. Tidak pernah ada evaluasi efektivitas jenis dan cara pewarisan
yang berlangsung. Semua kegiatan pewarisan berjalan secara alamiah. Hal ini
berlangsung sebagai pola meniru kegiatan yang diajarkan guru kepada anak
didiknya. Dari kegiatan ini diharapkan agar anak didik yang awalnya meniru
kegiatan guru akhirnya bisa mengembangkan lagi hasil kegiatan yang dapat
ditirunya. Seperti halnya penulisan prasi yang awalnya hanya diwariskan secara
alamiah dari orang tua ke anak-anak serta cucu-cucu mereka kemudian berkembang
seiring perkembangan zaman banyak ide pemikiran yang muncul dan dituangkan
dalam naskah ilustrasi yang ditulis di atas daun lontar.
Lontar (dari bahasa Jawa: ron tal, "daun
tal") adalah daun siwalan atau tal (Borassus
flabellifer atau palmyra) yang dikeringkan dan dipakai sebagai bahan
naskah dan kerajinan. Di Bali sendiri, daun-daun lontar sebagai alat tulis
masih dibuat sampai sekarang. Pertama-tama daun-daun pohon siwalan dipetik dari
pohon. Pemetikan biasa dilakukan pada bulan Maret,
April atau September,Oktober karena daun-daun pada masa ini sudah
tua. Kemudian daun-daun dipotong secara kasar dan dijemur menggunakan panas
matahari. Proses ini membuat warna daun yang semula hijau menjadi kekuningan.
Lalu daun-daun direndam di dalam air yang mengalir selama beberapa hari dan
kemudian digosok bersih dengan serbet atau serabut kelapa. Setelah daun-daun
dijemur kembali, tapi sekarang kadang-kala daun-daun sudah dipotong dan diikat.
Lalu lidinya juga dipotong dan dibuang. Setelah kering daun-daun lalu direbus
dalam sebuah kuali besar dicampur dengan beberapa ramuan. Tujuannya ialah
membersihkan daun-daun dari sisa kotoran dan melestarikan struktur daun supaya
tetap bagus. Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun-daun diangkat dan
dijemur kembali di atas tanah. Lalu pada sore hari daun-daun diambil dan tanah
di bawah dedaunan dibasahi dengan air kemudian daun-daun ditaruh kembali supaya
lembab dan menjadi lurus. Lalu keesokan harinya diambil dan dibersihkan dengan
sebuah lap. Lalu daun-daun ditumpuk dan dipres pada sebuah alat yang di Bali
disebut sebagai pamlagbagan. Alat ini merupakan penjepit kayu yang
berukuran sangat besar. Daun-daun ini dipres selama kurang lebih enam bulan.
Namun setiap dua minggu diangkat dan dibersihkan. Setelah itu daun-daun
dipotong lagi sesuai ukuran yang diminta dan diberi tiga lubang: di ujung kiri,
tengah, dan ujung kanan. Jarak dari lubang tengah ke ujung kiri harus lebih
pendek daripada ke ujung kanan. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda pada saat
penulisan nanti. Tepi-tepi lontar juga dicat, biasanya dengan cat warna merah.
Setiap lempir lontar yang akan ditulisi, biasanya diberi garis dahulu supaya
nanti kalau menulis tidak mencong-mencong. Hal ini dilakukan dengan menggunakan
sebuah alat yang disebut panyipatan. Tali-tali kecil direntangkan pada
dua paku bambu. Lalu dibawahnya ditaruh lempir-lempir lontar. Tali-tali ini
lalu diberi tinta dan ditarik. Rentangan tali yang ditarik tadi lalu mental dan
mencipratkan tinta ke lempiran lontar sehingga terbentuk garis-garis. Lalu
lontar yang sudah siap ditulisi ditulisi menggunakan pisau tulis yang di Bali
disebut pengropak atau pengutik. Setelah selesai ditulis sebuah
lempir, biasanya pada kedua sisi, maka lempir harus dihitamkan. Cara
menghitamkan dilakukan dengan menggunakan kemiri yang dibakar sampai mengeluarkan minyak. Lalu
kemiri-kemiri ini diusapkan pada lempir dan ukiran aksara-aksara tadi jadi
terlihat tajam karena jelaga kemiri. Minyak kemiri sekaligus juga menghilangkan
tinta-tinta garisan. Lalu setiap lempir dibersihkan dengan lap dan kadangkala
diolesi dengan minyak
sereh supaya bersih dan tidak dimakan serangga. Lalu tumpukan
lempir-lempir ini disatukan dengan sebuah tali melalui lubang tengah dan diapit
dengan sepasang pengapit yang di Bali disebut sebagai takepan. Namun
kadangkala lempir-lempir disimpan dalam sebuah peti kecil yang disebut dengan
nama kropak di Bali.
Prasi, secara
fisik, terdiri atas bagian tulisan atau naskah cerita dan gambar yaitu gambar
ilustrasi. Tulisan yang digunakan dalam prasi biasanya menggunakan huruf Bali.
Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang. Kedua bagian prasi
ini dibuat dengan cara khusus, menggunakan alat tulis atau gambar khusus, yaitu
sejenis pisau yang disebut pengropak. Dengan cara melukai permukaan daun lontar
yang telah diolah siap-tulis, pembuat prasi mengatur tulisan dan gambar di atas
permukaan lahan-tulis tersebut. Selanjutnya, untuk menunjukkan hasil goresan
agar bisa dilihat, dibaca, permukaan lontar dilaburi minyak yang telah dicampur
dengan jelaga. Warna hitam jelaga itu menjadi pengisi goresan-goresan yang
telah dibuat, sementara bagian lain yang tidak berisi goresan dibersihkan
kembali. Secara pasti, prasi adalah tulisan dan gambar yang menjorok ke dalam
permukaan daun lontar. Karena berbentuk luka-gores, tulisan dan gambar menjadi
aman, awet, dan tak bisa diganti. Mengganti tulisan atau gambar berarti merusak
permukaan lontar. Sebagai dokumen, naskah di atas permukaan lontar aman dari
upaya pengubahan. Segala perubahan, kecuali penambahan goresan tertentu yang
“sejalan” dengan tulisan dan gambar yang asli, bisa dilihat secara kasat mata.
Penulisan prasi atau naskah ilustrasi di atas daun lontar ini memang
membutuhkan waktu yang lama namun jika hal ini bisa diwariskan terus akan
memberikan banyak aspek yang menguntungkan baik dari segi ekologi, sosial, dan
ekonomi. Aspek ekologi yang berkembang dengan penulisan prasi dari daun lontar
ini adalah daun lontar yang dipakai untuk penulisan prasi akan terus dimuliakan
keberadaannya. Daun lontar yang berasal dari pohon sejenis palem yang disebut
pohon siwalan ini hampir punah keberadaannya namun dengan adanya pelestarian
penulisan prasi masyarakat Bali akan lebih memikirkan kembali penggunaan dan
perbanyakan keberadaan pohon siwalan ini. Dari aspek sosial penulisan prasi di
atas daun lontar memberikan manfaat yaitu berkembangnya pemikiran masyarakat
dari tulisan-tulisan yang ada dan pelestarian budaya adat seperti aturan adat
atau awig-awig, naskah-naskah kuno akan tetap lestari keberadaannya. Dari aspek
ekonomi penulisan prasi di atas daun lontar ini memiliki nilai jual yang tinggi
terutama bila di ekspor ke luar negeri akan menambah devisa bagi negara, karena
banyak dari pengekspor tertarik akan seni penulisan prasi di atas daun lontar
ini.
PENUTUP
Penulisan prasi di atas daun lontar merupakan salah satu upaya
pelestarian kearifan lokal masyarakat Bali yang bermanfaat dari aspek ekologi
karena mampu menjaga pemuliaan tanaman siwalan, dari aspek sosial sebagai
sarana penulisan aturan adat yang lebih aman dan awet serta dari aspek ekonomi
yang memiliki nilai jual seni yang tinggi dan menambah devisa negara bila
diekspor ke luar negri.
Saran yang bisa
diberikan adalah penggunaan daun lontar sebagai sarana penulisan prasi
hendaknya dikembangkan lagi dengan penggunaan daun sejenis yang memiliki mutu
dan manfaat yang sama dan penulisan prasi hendaknya masih terus diwariskan agar
keberadaannya sebagai ciri masyarakat Bali tetap terjaga.
DAFTAR
PUSTAKA
Tanpa nama.
(8 April 2010). Prasi kearifan lokal masyarakat Bali. Kompas. Diunduh dari http://sosbud.
kompasiana.com/2010/04/08/prasi-kearifan-lokal-masyarakat-bali/
Lontar. (tanpa tahun). Diunduh 31 Oktober 2011, dari Wikipedia: http://id.wikipedia.
org/ wiki/ Lontar
Joepoet, Y. (10
Desember 2010). Penulis lontar, I Wayan Muditadnana. Diunggah ke http://detik.travel/readfoto/2010/12/10/100324/1517984/1026/1/penulis-lontar-i-wayan-muditadnana