Rabu, 23 Mei 2012


PENULISAN PRASI DI ATAS DAUN LONTAR SEBAGAI
 WARISAN BUDAYA MASYARAKAT BALI
YANG PATUT DILESTARIKAN
         Luh Putu Indah Purnama Sari
                                                          FKIP UNMAS DENPASAR


ABSTRACT



                PRASI is the creation of a diverse group of creative people in the world of conflict resolution who themselves embody the unity of research and practice. Wealth of the nation's heritage for future generations never programmed systemic. Many activities are conducted through the inheritance of hereditary habit. There was never any evaluation of effectiveness of this type and how heritage is underway. All activities run on natural heritage. Prasi, physical, consisting of the writings or the story text and illustrations. Writing is used in prasi usually use the letter of Bali. Images that complement the style of writing made with puppets. The second part of this prasi made in a special way, using special stationery or pictures, types of knives called pengropak. By way of injuring the surface of the palm leaves that have been processed ready written, prasi makers set the text and images on the surface of the ground-writing. Furthermore, to show the results of scratches to be seen, read, surface dilaburi palm oil mixed with soot. Prasi or script writing on palm leaves illustration of this takes a long time but if this can be inherited will continue to provide many beneficial aspects of both in terms of ecological, social, and economic. Prasi written on palm leaves is one of the preservation of indigenous peoples in Bali and write prasi still have to continue to exist as an inherited trait Balinese society is maintained.

Keyword : Creative people, pengropak, beneficial aspects


PENDAHULUAN
Prasi adalah hasil olah pikir dan rasa masyarakat Bali sebagai respon positif untuk menyelaraskan keperluan kegiatan dengan lingkungan. Sejak masa lalu, masyarakat Bali telah mampu merespons keperluan mengabadikan data tertulis dalam bentuk lembaran naskah. Salah satu di antara bahan yang digunakan sebagai bahan lembaran naskah yang pernah dikembangkan sebagai sarana dokumentasi data tertulis adalah lembaran daun lontar. Penulisan prasi atau yang disebut naskah ilustrasi ini banyak dikembangkan oleh masyarakat Bali dengan menggunakan daun lontar sebagai sarana tempat menulisannya. Prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar (gambar ilustrasi). Tulisan dalam prasi biasanya menggunakan huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang. Kedua bagian prasi ini dibuat dengan cara khusus, menggunakan alat tulis atau gambar khusus, yaitu sejenis pisau yang biasanya disebut dengan pengropak. Cara menulis prasi di atas daun lontar ini dilakukan dengan cara melukai permukaan daun lontar yang telah diolah siap-tulis, pembuat prasi mengatur tulisan dan gambar di atas permukaan lahan-tulis tersebut.
Budaya penulisan prasi di atas daun lontar ini lambat laun semakin ditinggalkan karena masyarakat menganggap penulisan dengan cara ini sangat kuno dan membutuhkan waktu yang lama untuk pembuatannya. Hanya beberapa masyarakat Bali di daerah tertentu saya yang masih menjaga kelestarian budaya penulisan prasi di atas daun lontar ini. Salah satu daerah yang masih menggunakan lontar sebagai sarana penulisan prasi adalah daerah Bungkulan, Kabupaten Buleleng.
Dari latar belakang tersebut penulis bermaksud membuat paper kearifan lokal yang berjudul “Penulisan prasi di atas daun lontar sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan” dengan tujuan agar kearifan lokal penulisan prasi tetap terjaga kelestariannya serta ciri khas dari masyarakat bali tidak hilang.

PEMBAHASAN
            Pewarisan kekayaan bangsa kepada generasi penerus tidak pernah terprogram secara sistemik. Banyak kegiatan pewarisan yang terlaksana melalui kebiasaan turun-temurun. Tidak pernah ada evaluasi efektivitas jenis dan cara pewarisan yang berlangsung. Semua kegiatan pewarisan berjalan secara alamiah. Hal ini berlangsung sebagai pola meniru kegiatan yang diajarkan guru kepada anak didiknya. Dari kegiatan ini diharapkan agar anak didik yang awalnya meniru kegiatan guru akhirnya bisa mengembangkan lagi hasil kegiatan yang dapat ditirunya. Seperti halnya penulisan prasi yang awalnya hanya diwariskan secara alamiah dari orang tua ke anak-anak serta cucu-cucu mereka kemudian berkembang seiring perkembangan zaman banyak ide pemikiran yang muncul dan dituangkan dalam naskah ilustrasi yang ditulis di atas daun lontar.
            Lontar (dari bahasa Jawa: ron tal, "daun tal") adalah daun siwalan atau tal (Borassus flabellifer atau palmyra) yang dikeringkan dan dipakai sebagai bahan naskah dan kerajinan. Di Bali sendiri, daun-daun lontar sebagai alat tulis masih dibuat sampai sekarang. Pertama-tama daun-daun pohon siwalan dipetik dari pohon. Pemetikan biasa dilakukan pada bulan Maret, April atau September,Oktober karena daun-daun pada masa ini sudah tua. Kemudian daun-daun dipotong secara kasar dan dijemur menggunakan panas matahari. Proses ini membuat warna daun yang semula hijau menjadi kekuningan. Lalu daun-daun direndam di dalam air yang mengalir selama beberapa hari dan kemudian digosok bersih dengan serbet atau serabut kelapa. Setelah daun-daun dijemur kembali, tapi sekarang kadang-kala daun-daun sudah dipotong dan diikat. Lalu lidinya juga dipotong dan dibuang. Setelah kering daun-daun lalu direbus dalam sebuah kuali besar dicampur dengan beberapa ramuan. Tujuannya ialah membersihkan daun-daun dari sisa kotoran dan melestarikan struktur daun supaya tetap bagus. Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun-daun diangkat dan dijemur kembali di atas tanah. Lalu pada sore hari daun-daun diambil dan tanah di bawah dedaunan dibasahi dengan air kemudian daun-daun ditaruh kembali supaya lembab dan menjadi lurus. Lalu keesokan harinya diambil dan dibersihkan dengan sebuah lap. Lalu daun-daun ditumpuk dan dipres pada sebuah alat yang di Bali disebut sebagai pamlagbagan. Alat ini merupakan penjepit kayu yang berukuran sangat besar. Daun-daun ini dipres selama kurang lebih enam bulan. Namun setiap dua minggu diangkat dan dibersihkan. Setelah itu daun-daun dipotong lagi sesuai ukuran yang diminta dan diberi tiga lubang: di ujung kiri, tengah, dan ujung kanan. Jarak dari lubang tengah ke ujung kiri harus lebih pendek daripada ke ujung kanan. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda pada saat penulisan nanti. Tepi-tepi lontar juga dicat, biasanya dengan cat warna merah. Setiap lempir lontar yang akan ditulisi, biasanya diberi garis dahulu supaya nanti kalau menulis tidak mencong-mencong. Hal ini dilakukan dengan menggunakan sebuah alat yang disebut panyipatan. Tali-tali kecil direntangkan pada dua paku bambu. Lalu dibawahnya ditaruh lempir-lempir lontar. Tali-tali ini lalu diberi tinta dan ditarik. Rentangan tali yang ditarik tadi lalu mental dan mencipratkan tinta ke lempiran lontar sehingga terbentuk garis-garis. Lalu lontar yang sudah siap ditulisi ditulisi menggunakan pisau tulis yang di Bali disebut pengropak atau pengutik. Setelah selesai ditulis sebuah lempir, biasanya pada kedua sisi, maka lempir harus dihitamkan. Cara menghitamkan dilakukan dengan menggunakan kemiri yang dibakar sampai mengeluarkan minyak. Lalu kemiri-kemiri ini diusapkan pada lempir dan ukiran aksara-aksara tadi jadi terlihat tajam karena jelaga kemiri. Minyak kemiri sekaligus juga menghilangkan tinta-tinta garisan. Lalu setiap lempir dibersihkan dengan lap dan kadangkala diolesi dengan minyak sereh supaya bersih dan tidak dimakan serangga. Lalu tumpukan lempir-lempir ini disatukan dengan sebuah tali melalui lubang tengah dan diapit dengan sepasang pengapit yang di Bali disebut sebagai takepan. Namun kadangkala lempir-lempir disimpan dalam sebuah peti kecil yang disebut dengan nama kropak di Bali.
            Prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan atau naskah cerita dan gambar yaitu gambar ilustrasi. Tulisan yang digunakan dalam prasi biasanya menggunakan huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang. Kedua bagian prasi ini dibuat dengan cara khusus, menggunakan alat tulis atau gambar khusus, yaitu sejenis pisau yang disebut pengropak. Dengan cara melukai permukaan daun lontar yang telah diolah siap-tulis, pembuat prasi mengatur tulisan dan gambar di atas permukaan lahan-tulis tersebut. Selanjutnya, untuk menunjukkan hasil goresan agar bisa dilihat, dibaca, permukaan lontar dilaburi minyak yang telah dicampur dengan jelaga. Warna hitam jelaga itu menjadi pengisi goresan-goresan yang telah dibuat, sementara bagian lain yang tidak berisi goresan dibersihkan kembali. Secara pasti, prasi adalah tulisan dan gambar yang menjorok ke dalam permukaan daun lontar. Karena berbentuk luka-gores, tulisan dan gambar menjadi aman, awet, dan tak bisa diganti. Mengganti tulisan atau gambar berarti merusak permukaan lontar. Sebagai dokumen, naskah di atas permukaan lontar aman dari upaya pengubahan. Segala perubahan, kecuali penambahan goresan tertentu yang “sejalan” dengan tulisan dan gambar yang asli, bisa dilihat secara kasat mata.

Penulisan prasi atau naskah ilustrasi di atas daun lontar ini memang membutuhkan waktu yang lama namun jika hal ini bisa diwariskan terus akan memberikan banyak aspek yang menguntungkan baik dari segi ekologi, sosial, dan ekonomi. Aspek ekologi yang berkembang dengan penulisan prasi dari daun lontar ini adalah daun lontar yang dipakai untuk penulisan prasi akan terus dimuliakan keberadaannya. Daun lontar yang berasal dari pohon sejenis palem yang disebut pohon siwalan ini hampir punah keberadaannya namun dengan adanya pelestarian penulisan prasi masyarakat Bali akan lebih memikirkan kembali penggunaan dan perbanyakan keberadaan pohon siwalan ini. Dari aspek sosial penulisan prasi di atas daun lontar memberikan manfaat yaitu berkembangnya pemikiran masyarakat dari tulisan-tulisan yang ada dan pelestarian budaya adat seperti aturan adat atau awig-awig, naskah-naskah kuno akan tetap lestari keberadaannya. Dari aspek ekonomi penulisan prasi di atas daun lontar ini memiliki nilai jual yang tinggi terutama bila di ekspor ke luar negeri akan menambah devisa bagi negara, karena banyak dari pengekspor tertarik akan seni penulisan prasi di atas daun lontar ini.


PENUTUP
              Penulisan prasi di atas daun lontar merupakan salah satu upaya pelestarian kearifan lokal masyarakat Bali yang bermanfaat dari aspek ekologi karena mampu menjaga pemuliaan tanaman siwalan, dari aspek sosial sebagai sarana penulisan aturan adat yang lebih aman dan awet serta dari aspek ekonomi yang memiliki nilai jual seni yang tinggi dan menambah devisa negara bila diekspor ke luar negri.
              Saran yang bisa diberikan adalah penggunaan daun lontar sebagai sarana penulisan prasi hendaknya dikembangkan lagi dengan penggunaan daun sejenis yang memiliki mutu dan manfaat yang sama dan penulisan prasi hendaknya masih terus diwariskan agar keberadaannya sebagai ciri masyarakat Bali tetap terjaga.


DAFTAR PUSTAKA

Tanpa nama. (8 April 2010). Prasi kearifan lokal masyarakat Bali. Kompas. Diunduh dari http://sosbud. kompasiana.com/2010/04/08/prasi-kearifan-lokal-masyarakat-bali/
Lontar. (tanpa tahun). Diunduh 31 Oktober 2011, dari Wikipedia: http://id.wikipedia. org/ wiki/ Lontar 
Joepoet, Y. (10 Desember 2010). Penulis lontar, I Wayan Muditadnana. Diunggah ke http://detik.travel/readfoto/2010/12/10/100324/1517984/1026/1/penulis-lontar-i-wayan-muditadnana

             







PEMANFAATAN ATRAKTAN SEBAGAI PENGENDALI
LALAT BUAH (Bactrocera sp) DI KEBUN CABAI
DESA MEKAR BUANA MAMBAL BALI
Oleh :
                  Luh Putu Indah Purnama Sari
FKIP UNMAS DENPASAR

ABSTRACT



                   The main containt in chilli cultivation is the high incidence of fruit fly (Bactrocera sp). The pest causes significant damage on plant. To control the pest, farmers commonly use insecticides excessively. The intensive use of insecticides results in inefficiency and polluted environment. Therefore, breakthrough in controlling fruit fly (Bactrocera sp) is needed by using of sticky trap attractants. Attractants technology has been developed and tested in laboratory and in plantation and gave prospective results. Many chemical and visual lures attract insects and can be used to monitor or directly reduce insect populations. Because these attractants are used in ways that do not injure other animals or humans or result in residues on foods or feeds, they can be used in an environmentally sound manner in pest management programs. The effective use of attractants and traps requires knowledge of basic biological principles and the pest- or crop-specific details involved in individual applications. This publication presents background information and specific guidance on the use of attractants and traps for monitoring and directly controlling insect pests. Its purpose is to aid farmers, homeowners, and others in understanding and making appropriate use of available technology. Application of Attractants decreases the use of insecticide and production cost and increase farmers' income. Therefore, utilization of Attractants is prospective to be developed especially in Chilli production centers and endemic for fruit fly (Bactrocera sp).

Keywords: Chilli, Fruit fly (Bactrocera sp), pest control, Attractants



PENDAHULUAN
Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan di Indonesia karena memiliki harga jual yang tinggi dan mempunyai beberapa manfaat kesehatan, salah satunya adalah mengandung vitamin C yang bermanfaat sebagai antioksidan yaitu zat anti kanker. Selain itu cabai banyak digunakan dalam bentuk segar maupun olahan untuk konsumsi rumah tangga, rumah makan, serta dalam industri bumbu masak. Namun kehilangan hasil pada tanaman cabai sering menjadi kendala dalam produksinya hal ini disebabkan oleh hama lalat buah (Bactrocera sp) yang menyerang buah cabai mulai dari yang masih muda dan paling banyak menyerang buah cabai yang hampir masak. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengendalikan keberadaan lalat buah ini salah satunya dengan penggunaan pestisida kimia.
Pestisida kimia mempunyai peranan penting dalam menjaga ketersediaan bahan pangan namun penggunaannya menimbulkan dampak negatif, salah satunya masalah pencemaran lingkungan. Selain itu penggunaan pestisida kimia cenderung merusak kesetimbangan alam dan meninggalkan residu yang berbahaya pada komoditas hortikultura yang dikonsumsi manusia. Oleh karena itu diperlukan upaya pengendalian hama secara ramah lingkungan, salah satunya penggunaan perangkap atraktan (sex feromon). Atraktan merupakan zat pemikat yang berupa aroma atau bau yang dapat menarik perhatian serangga. Perangkap ini dapat mengendalikan hama lalat buah tanpa meninggalkan residu yang berbahaya pada produk hortikultura.
Dari latar belakang tersebut penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Pemanfaatan Atraktan Sebagai Pengendali Lalat Buah (Bactrocera sp) di Kebun Cabai Desa Mekar Buana Mambal Bali” dengan rumusan masalah apakah penggunaan atraktan dapat mengendalikan hama lalat buah pada tanaman cabai? , dimana penggunaan atraktan ini bertujuan agar para petani tidak lagi menggunakan pestisida kimia sebagai pengendali hama dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan serta tidak meninggalkan residu yang berbahaya pada komoditas hortikultura bila dikonsumsi.

PEMBAHASAN
Taksonomi Tanaman Cabai
            Tanaman cabai memiliki banyak nama populer di berbagai negara. Namun secara umum tanaman cabai disebut sebagai pepper atau chili. Nama pepper lebih umum digunakan untuk menyebut berbagai jenis cabai besar, cabai manis, atau paprika. Sedangkan chili, biasanya digunakan untuk menyebut cabai pedas, misalnya cabai rawit. Di Indonesia sendiri, penamaan cabai juga bermacam-macam tergantung daerahnya. Cabai sering disebut dengan berbagai nama lain, misalnya, lombok, mengkreng, rawit, cengis, cengek, dan masih banyak lagi sebutan lainnya. Dalam tata nama ilmiah, tanaman cabai termasuk dalam genus Capsicum, dengan klasifikasi lengkap sebagai berikut:
Kingdom         : Plantae
Divisi              : Magnoliophyta
Kelas               : Magnoliopsida
Sub kelas         : Asteridae
Ordo               : Solanales
Famili              : Solanaceae
Genus              : Capsicum
Spesies            : Capsicum annuum (cabai besar, cabai lonceng)
Capsicum frutescens (cabai kecil/cabai rawit)
Morfologi Tanaman Cabai
            Bentuk luar atau morfologi tanaman cabai sebenamya bukan hal yang asing bagi sebagian masyarakat Indonesia, terutama berbeda halnya dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Seringkali mereka belum pernah melihat tanaman cabai yang sebenamya. Yang mereka ketahui hanyalah buah cabai yang dapat dimanfaatkan sebagai sayur. Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun yang berbentuk oval, lonjong, bahkan ada yang lanset. Warna permukaan daun bagian atas biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan. Sedangkan permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau muda, hijau pucat atau hijau. Permukaan daun cabai ada yang halus adapula yang berkerut-kerut. Ukuran panjang daun cabai antara 3-11 cm, dengan lebar antara 1-5 cm. Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dengan batang tidak berkayu. Biasanya, batang akan tumbuh sampai ketinggian tertentu, kemudian membentuk banyak percabangan. Untuk jenis-jenis cabai rawit, panjang batang biasanya tidak melebihi 100 cm. Namun untuk jenis cabai besar, panjang batang (ketinggian) dapat mencapai 2 meter bahkan lebih. Batang tanaman cabai berwarna hijau, hijau tua, atau hijau muda. Pada batang-batang yang telah tua (biasanya batang paling bawah), akan muncul wama coklat seperti kayu. Ini merupakan kayu semu, yang diperoleh dari pengerasan jaringan parenkim. Tanaman cabai memiliki perakaran yang cukup rumit dan hanya terdiri dari akar serabut saja. Biasanya di akar terdapat bintil-bintil yang merupakan hasil simbiosis dengan beberapa mikroorganisme. Meskipun tidak memiliki akar tunggang, namun ada beberapa akar tumbuh ke arah bawah yang berfungsi sebagai akar tunggang semu. Bunga tanaman cabai juga bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama, yaitu berbentuk bintang. Ini menunjukkan tanaman cabai termasuk dalam sub kelas Ateridae (berbunga bintang). Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun, dalam keadaan tunggal atau bergerombol dalam tandan. Dalam satu tandan biasanya terdapat 2-3 bunga saja. Mahkota bunga tanaman cabai warnanya bermacam-macam, ada yang putih, putih kehijauan, dan ungu. Diameter bunga antara 5-20 mm. Bunga tanaman cabai merupakan bunga sempuma, artinya dalam satu tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina. Pemasakan bunga jantan dan bunga betina dalam waktu yang sama (atau hampir sama), sehingga tanaman dapat melakukan penyerbukan sendiri. Namun untuk mendapatkan hasil buah yang lebih baik, penyerbukan silang lebih diutamakan. Karena itu, tanaman cabai yang ditanam di lahan dalam jumlah yang banyak, hasilnya lebih baik dibandingkan tanaman cabai yang ditanam sendirian. Pernyerbukan tanaman cabai biasanya dibantu angin atau lebah. Kecepatan angin yang dibutuhkan untuk penyerbukan antara 10-20 km/jam (angin sepoi-sepoi). Angin yang ter lalu kencang justru akan merusak tanaman. Sedangkan penyerbukan yang dibantu oleh lebah dilakukan saat lebah tertarik mendekati bunga tanaman cabai yang menarik penampilannya dan terdapat madu di dalamnya.

Cabai (Capsicum annum L.) merupakan tanaman sayuran dan buah yang banyak ditanam di Indonesia, memiliki harga jual yang tinggi dan merupakan komoditas hortikultura yang bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung vitamin C yang merupakan antioksidan sebagai zat anti kanker. Kandungan terbesar antioksidan ini adalah pada cabai hijau. Cabai termasuk dalam suku terong-terongan dan merupakan tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung minyak atsiri yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan rasa hangat dan panas bila digunakan sebagai rempah-rempah. Cabai bisa ditanam dengan mudah sehingga bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Tanaman cabai cocok ditanam pada tanah yang kaya humus, gembur, dan sarang serta tidak tergenang air; pH tanah yang ideal sekitar 5-6. Waktu tanam yang baik untuk lahan kering adalah pada akhir musim hujan (Maret-April). Tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit. Buah cabai yang telah diseleksi untuk bibit dijemur hingga kering. Salah satu kendala utama dalam sistem produksi cabai di Indonesia adalah adanya serangan hama pada buah cabai. Hama ini sering menyebabkan gagal panen. Buah cabai yang terserang sering tampak sehat dan utuh dari luar tetapi bila dilihat di dalamnya membusuk dan mengandung larva lalat. Penyebab utamanya adalah lalat buah yang menginfeksi dengan meletakkan telur pada buah cabai yang masih muda bahkan yang akan masak. Upaya penangulangan untuk hama lalat buah ini telah banyak dilakukan diantaranya pembrongsongan yang dapat mencegah serangan lalat buah. Akan tetapi, cara ini tidak praktis digunakan pada tanaman cabai dalam areal yang luas. Sementara penggunaan pestisida kimia selain mencemari lingkungan juga berbahaya untuk produk hortikultua yang dikonsumsi manusia. Karenanya, diperlukan cara penanggulangan yang lebih ramah lingkungan dan cocok diterapkan di areal luas.
Taksonomi Lalat Buah (Bactrocera sp)
Menurut Evans (1984), klasifikasi lalat buah  adalah sebagai berikut:
Kingdom                  : Animalia
Filum                        : Arthropoda
Kelas                        : Insecta
Ordo                         : Diptera
Famili                       : Tephritidae
Genus                       : Bactrocera
            Satu ekor lalat betina Bactrocera sp. menghasilkan telur 1200-1500 butir. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan berkelompok 2-15 butir. Seekor lalat betina dapat meletakkan telur 1-40 butir/hari. Setelah 2 hari telur menetas menjadi larva yang berwarna putih kekuningan atau putih keruh, berbentuk bulat panjang dengan salah satu ujungnya runcing. Caput berbetuk runcing dengan satu sampai dua bintik yang jelas, mempunyai alat kait mulut. Stadia larva terdiri atas tiga instar. Lalat buah rata-rata berukuran 0,7 mm x 0,3 mm. Toraks berwarna oranye, merah kecoklatan, coklat, atau hitam dan memiliki sepasang sayap. Pada sayap Bactrocera dorsalis  Complex, biasanya terdapat dua garis membujur dan sepasang sayap trasparan. Pada abdomen umumnya terdapat dua pita melintang dan satu pita membujur warna hitam atau bentuk huruf T yang kadang-kadang tidak jelas. Ujung abdomen lalat buah betina lebih runcing dan mempunyai alat peletak telur yang cukup kuat untuk menembus kulit buah, sedangkan pada lalat buah jantan abdomennya lebih bulat. Daur hidup lalat buah dari telur sampai dewasa di daerah tropis berlangsung 25 hari. Setelah keluar dari pupa, lalat buah membutuhkan sumber protein untuk makanannya dan persiapan bertelur  (Kalshoven, 1981).
Lalat buah (Bactrocera sp) menyerang berbagai macam komoditas hortikultura buah dan sayuran yang ada di Indonesia, salah satunya adalah tanaman cabai. Lalat buah termasuk Ordo Dipter, Famili Tephtritidae terdiri dari 4000 spesies, terbagi dalam 500 genera. Famili ini merupakan famili terbesar dari ordo Diptera dan merupakan salah satu famili yang terpenting karena secara ekonomi sangat merugikan.  Kehidupan dan perkembangan lalat buah dipengaruhi banyak faktor, diantaranya faktor suhu, kelembaban dan ketersediaan inang. Ketiga faktor tersebut tersedia cukup di daerah tropis seperti di Indonesia sehingga menguntungkan bagi perkembangan populasi lalat buah. Di daerah tropis lalat buah mendapat gangguan iklim lebih kecil dibandingkan daerah lain, daerah sedang dan dingin. Ketersediaan pakan di daerah tropik lebih besar oleh karena itu serangga termasuk lalat buah selalu mendapat pakan yang cukup terlebih untuk berkembang biak.
Lalat buah menyerang buah cabai mulai dari yang masih muda dan paling banyak menyerang cabai yang hampir masak. Serangan lalat buah di mulai dari menusuk kulit buah dengan alat peletak telur kemudian meletakkan telurnya, dalam 1-20 hari telur akan tumbuh menjadi larva. Larva yang tumbuh akan menggali daging buah dan diikuti masuknya bakteri dan jamur sehingga buah cabai akan mengalami pembusukan dengan cepat. Buah yang terserang akan jatuh ke tanah bersama dengan larva lalat buah kemudian larva ini masuk dalam stadium pupa 10-12 hari kemudian menjadi imago (serangga dewasa) dapat bermigrasi sejauh 5-100 km dan aktif terbang pada jam 06.00-09.00 pagi dan sore hari jam 15.00-18.00 (Fletcher, 1989 dalam Hareunisa,R).
            Serangga memiliki cara yang unik untuk berkomunikasi dengan serangga yang lain. Dengan bau atau senyawa kimia serangga saling memberikan informasi, dan mengetahui pasangannya. Zat komunikasi anatar serangga ini adalah feromon dan alelokimia.Feromon adalah zat kimia yang berperan dalam komunikasi antar oraganisme dari spesies yang sama, sedangkan alelokimia adalah zat kimia yang berperan dalam komunikasi antar organisme dari spesies yang berbeda. Alelokimia dibagi menjadi dua yaitu alomon, zat yang menghasilkan keintungan bagi organisme panghasil, dan khairomon, zat yang memberikan keuntungan bagi organisme yang menerima.
            Feromon yang sering digunakan serangga untuk berkomunikasi dengan sesama spesiesnya adalah dengan feromon seks, feromon alarm, dan feromon pelacak. Feromon seks digunakan untuk menarik serangga lain untuk melakukan proses reproduksi. Feromon ini dihasilkan oleh serangga betina untuk menarik serangga jantan untuk datang dan melakukan kopulasi. Feromon seks ini dapat berperan sebagai atraktan atau senyawa pemikat bagi serangga jantan. Dengan sifat serangga yang seperti ini maka dapat dikembangkan perangkap aroma dengan menggunakn atraktan yang memiliki aroma yang sama dengan feromon seks yang dihasilakn oleh serangga. Metil Eugenol merupakan atraktan yang sering digunakan untuk mengendalikan lalat buah  Bactrocera sp. Metil Eugenol sangat dibutuhkan oleh lalat jantan untuk dikonsumsi. Zat ini bersifat volatile atau menguap dan melepaskan aroma wangi dengan radius mencapai 20-100 m, tetapi jika dibantu oleh angin jangkauan bisa mencapai 3 km (Kusnaedi, 1999 dalam Hareunisa,R).
Hubungan timbal balik serangga dan tanamanan inang dalam suatu komunitas lahan perkebunan sangat dipengaruhi oleh lingkungan biotik, abiotik dan campur tangan manusia dalam rangka meningkatkan hasil produk pertanian.  Salah satu campur tangan manusia dalam peningkatan produksi pertanian adalah penggunaan pestisida dalam mengendalikan populasi hama. Namun penggunaan pestisida kimia sekarang ini banyak menimbulkan dampak yang merugikan baik bagi lingkungan maupun bagi komoditas hortikultura itu sendiri. Oleh karena itu banyak cara yang digunakan untuk pengendalian hama dalam meningkatkan hasil perkebunan salah satu cara dengan menggunakan perangkap atraktan sebagai pengendali hama lalat buah. Penggunaan atraktan merupakan cara pengendalian hama lalat buah yang ramah lingkungan, karena baik komoditas yang dilindungi maupun lingkungannya tidak terkontaminasi oleh atraktan. Selain itu atraktan ini tidak membunuh serangga bukan sasaran (serangga berguna seperti lebah madu, serangga penyerbuk atau musuh alami hama), karena bersifat spesifik, yaitu hanya memerangkap hama lalat buah, sehingga tidak ada risiko atau dampak negatif dari penggunaannya.
Penggunaan atraktan sebagai pengendali lalat buah pada tanaman cabai dapat membantu dalam meningkatkan hasil budidaya tanaman cabai dimana selain ramah lingkungan atraktan ini tidak menimbulkan residu yang berbahaya seperti pada penggunaan pestisida. Atraktan merupakan bahan pemikat (sex feromon) yang berupa aroma atau bau tertentu yang dapat menarik perhatian serangga. Karenanya penggunaan atraktan dapat dikembangkan dengan pembuatan perangkap dari botol bekas. Pertama-tama yang dilakukan adalah wadah plastik diberi lubang pada sisi atas dan bawahnya. Pada bagian atas wadah plastik diberi kawat untuk menempelkan kapas dan kawat penggantung. Pada saat pemakaian, wadah plastik dimiringkan sehingga lubang terletak pada bagiian kiri dan kanan. Metil eugenol dimasukkan kedalam kapas dengan menggunakan jarum suntik sebanayak 2 ml ke dalam kapas. Alat perangkap kemuudian dibawa ke kebun cabai dan digantungkan pada ranting daun yang kokoh untuk memastikan perangkap tidak jatuh. Perangkap diletakkan pada petak-petak tanaman secara diagonal maka serangga lalat buah akan tertarik dan mendekati perangkap. Alat perangkap dibiarkan di pertanaman selama satu minggu. Pengamatan diliakukan setiap hari atau minimal dua hari sekali. Cara ini dapat mengendalikan hama lalat buah, karena dengan perangkap atraktan ini hama lalat buah yang masuk ke dalam perangkap dapat dipantau jumlahnya setiap satu minggu. Atraktan nabati sangat dibutuhkan oleh para petani dan praktisi di bidang hortikultura, khususnya buah-buahan, sehingga teknologi ini sangat dinantikan oleh mereka. Atraktan nabati dapat digunakan di semua lokasi di mana tanaman hortikultura dibudidayakan. Hasil pengujian di beberapa daerah menunjukkan bahwa atraktan nabati ini mampu memerangkap lalat buah per minggunya dalam satu perangkap berkisar dari puluhan, ratusan hingga ribuan, bergantung pada komoditas, cuaca, dan lokasi. Atraktan mampu bertahan hingga satu bulan, namun pada minggu kedua daya tangkapnya sudah mulai menurun, sehingga penambahan atraktan perlu dilakukan setiap dua minggu.


PENUTUP
              Pengendalian hama lalat buah pada cabai dengan menggunakan perangkap atraktan lebih efektif dan efisien dalam menekan populasi lalat buah dan kehilangan hasil panen pada areal yang luas. Selain itu penggunaan perangkap atraktan ini juga lebih ramah lingkungan dan tidak meninggalkan residu yang berbahaya pada komoditas hortikultura. Atraktan sendiri mudah ditemukan pada toko-toko pertanian dan dapat dibuat sendiri dari tumbuhan dengan memanfaatkan aroma dan bau yang dihasilkan tumbuhan tertentu yang menarik bagi serangga. Pembuatan perangkap atraktan yang sederhana juga menguntungkan bagi penggunaannya di masyarakat. Selain itu juga penggunaan perangkap atraktan ini mampu mengurangi kerusakan buah cabai pada produksinya.
              Hanya saja pada dasarnya masih banyak petani buah di perkebunan cabai desa Mekar Buana Mambal Bali ini belum mengetahui cara pengendalian menggunakan perangkap atraktan ini. Sebaiknya pengendalian lalat buah dengan perangkap atraktan ini lebih diperkenalkan pada petani buah khususnya cabai dan menjangkau lebih banyak lagi daerah perkebunan buah cabai dan buah-buah yang lain. Saran saya sebaiknya penelitian ini dikembangkan lagi sebagai media dalam pembelajaran outdoor untuk siswa SMP atau SMA karena banyak materi yang bisa dikembangkan disini menjadi media pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman siswa.



DAFTAR PUSTAKA

Budimarwanti, C. (tanpa tahun). Feromon dan metileugenol sebagai   pengendali hama tanpa         merusak lingkungan. Diunduh dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/16197141149.pdf
Nurnasari, E. (11 Mei 2009). Pemanfaatan senyawa kimia alami sebagai alternatif pengendalian hama tanaman. Diunggah ke http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_pangan/ pemanfaatan-senyawa-kimia-alami-sebagai-alternatif-pengendalian-hama-tanaman/
Ferry.(12 Desember 2005). Minyak sereh dapur. Diunggah ke http://ferry-atsiri.blogspot.com/ 2006/10/minyak-sereh-dapur-lemongrass-oil.html
Haerunisa, R. (19 Juni 2010). Ilmu hama tumbuhan dasar. Diunggah ke http://rizkyhaerunisa08. student.ipb.ac.id/2010/06/19/laporan-ilmu-hama-tumbuhan-dasar-atraktan/